Monday, July 16, 2007

Hati Ibarat Cermin

Oleh Meyla Farid

Bandingkan dua buah cermin. Dibuat pada waktu yang sama, ditempatkan di tempat yang sama, bahkan menerima pencahayaan dan suhu udara yang sama. Yang membedakan hanyalah dua orang manusia yang memilikinya. Yang pertama, malas sekali membersihkannya. Setiap ada setitik debu menempel di cermin, dia biarkan. Bahkan cipratan tinta yang mengenai cermin pun dia enggan membersihkannya


Oleh Meyla Farid

Bandingkan dua buah cermin. Dibuat pada waktu yang sama, ditempatkan di tempat yang sama, bahkan menerima pencahayaan dan suhu udara yang sama. Yang membedakan hanyalah dua orang manusia yang memilikinya. Yang pertama, malas sekali membersihkannya. Setiap ada setitik debu menempel di cermin, dia biarkan. Bahkan cipratan tinta yang mengenai cermin pun dia enggan membersihkannya. Dia sama sekali tidak pernah mau sekedar menghapus, atau menggesek cermin kesayangannya itu dengan lap bersih atau air bersih. Segala noda dia biarkan menempel di cermin. Awalnya cipratan tinta itu mungkin hanya setitik, dua titik, lalu tiga titik, hingga selanjutnya mengendap menjadi gumpalan tinta yang sudah mengering di permukaan cermin. Sampai-sampai, si pemiliknya sendiri tidak bisa bercermin pada cerminnya sendiri. Dia tidak bisa melihat apakah dirinya baik, atau jelek, saat berdiri di depan cermin. Lama-lama, cipratan-cipratan tinta itu pun menjadi karat. Dan cermin sudah tidak berfungsi baik lagi. Bahkan, kadang-kadang, karena telah ternodai oleh gumpakan tinta yang mengarat, cermin memantulkan kebaikan menjadi kejelekan, atau kejelekan menjadi kebaikan. Karena sudah mengarat, cermin pun susah untuk dibersihkan... Yang kedua, merawat cerminnya dengan baik. Setiap ada setitik cipratan tinta, meskipun sedikit, dia langsung membersihkannya. Menggosoknyanya dengan lap dan air yang bersih. Sehingga cermin setiap harinya selalu jernih, mampu memberinya pengetahuan tentang sebaik/seburuk apa dirinya jika berdiri di depan cermin tersebut. Sehingga cermin bisa membuatnya selalu mengoreksi setiap kesalahan dalam penampilannya. Rajin-rajinlah membersihkan hati kita... Karena jika tidak, niscaya dosa-dosa itu semakin lama akan semakin menumpuk dan menutupi cahayanya. Yang lebih menakutkan, noda-noda dosa itu bisa membolak balikkan fakta. Yang benar jadi batil, yang batil jadi benar. Naudzubillah... Setiap hari.. carilah pengampunanNya. Istighfar.bukan hanya di mulut saja. Namun penyesalan terdalam akan semua kehilapan yang kita lakukan. Setiap dosa adalah bahaya. Meski sepatah kata atau sekelebat lirikan mata, itu awal dari noda yang bisa menjadi karat jika tidak cepat-cepat dibersihkan. Ada pepatah, "Menyesali sebelum melakukan, adalah keberuntungan dan menyesal setelah kejadian, adalah ketidak bergunaan" Intropeksi diri.beristighfar setiap waktu adalah lebih baik daripada terlanjur melakukan kekhilafan. Allah memang Maha penerima taubat, tapi urusan kita adalah untuk selalu menjaga diri dari dosa. Wallahu a'lam.

diambil dari :
www.eramuslim.com

Baca Selengkapnya ......

Wednesday, July 11, 2007

Rakyat Irak, Jadi Pengungsi di Negeri Sendiri


Penjajahan negara asing, pertikaian antara Muslim Sunni dan Syiah di Irak, membuat kehidupan rakyat Irak porak poranda. Ancaman keamanan dan kesulitan ekonomi, membayangi mereka setiap hari. Bahkan banyak di antara mereka yang menjadi pengungsi di negerinya sendiri.

Penjajahan negara asing, pertikaian antara Muslim Sunni dan Syiah di Irak, membuat kehidupan rakyat Irak porak poranda. Ancaman keamanan dan kesulitan ekonomi, membayangi mereka setiap hari. Bahkan banyak di antara mereka yang menjadi pengungsi di negerinya sendiri.

Menurut Iraqi Red Crescent Society IRCS)-satu-satunya organisasi bantuan kemanusiaan yang beroperasi di Irak- sejak peristiwa pemboman tempat suci kaum Syiah di Samarra tanggal 22 Februari 2006, sedikitnya ada 142. 260 keluarga atau sekitar 1 juta lebih rakyat Irak yang terpaksa menjadi pengungsi di negerinya sendiri.

Jumlah pengungsi di Irak terus meningkat, setelah terjadi konflik antara kaum Sunni dan Syiah di Negeri 1001 Malam itu.

"Saat ini, jumlah rakyat Irak yang jadi pengungsi meningkat rata-rata 80 ribu sampai 100 ribu per bulannya, " demikian laporan ICRS tertanggal 5 Juli berdasarkan data sejak Februari 2006 sampai 30 Juni 2007.

Laporan ICRC setebal 25 halaman menyebutkan, pada akhir tahun 2007 ada lebih dari satu juta pengungsi di Irak, di mana 37, 5 persennya adalah anak-anak di bawah usia 12 tahun, 32, 8 persen kaum perempuan dan 29, 7 persen kaum lelaki.

Pengungsi paling banyak berasal dari kota Baghdad dengan jumlah 41. 969 keluarga, urutan kedua adalah pengungsi dari Provinsi Mosul sebanyak 15. 063 keluarga dan jumlah pengungsi terbanyak ketiga berasal dari Provinsi Salahuddin sekitar 12. 781 keluarga.

Al-Tamimi seorang warga Irak terpaksa memboyong keluarganya, mengungsi ke rumah kerabatnya yang kecil di kawasan perkampungan Syiah. "Apa salah saya dalam hidup ini, saya kehilangan pekerjaan, rumah dan impian saya untuk membangun keluarga bahagia punah sudah. Siapa yang harus disalahkan atas semua penderitaan kami ini, " kata al-Tamimi memelas.

Ia menyatakan, hidupnya saat ini dililit banyak hutang karena harus membeli obat untuk isterinya yang punya penyakit kelainan jantung dan untuk anak perempuannya yang menderita asma.

"Saya butuh uang sedikitnya 250 ribu dinar (sekitar 200 dollar AS) tiap bulannya, untuk pengobatan. Saya menjadi penjual korek api dan minuman ringan di jalan, " katanya.

Al-Tamimi adalah satu dari ratusan ribu rakyat Irak yang hidup menderita sebagai pengungsi. Mereka bukan hanya terbatas mendapatkan akses ekonomi, tapi juga akses mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan. Belum lagi masalah tekanan psikologis

"Pendidikan adalah sektor yang terpengaruh oleh gelombang pengungsi ini. Di beberapa wilayah sekolah-sekolah memiliki jumlah siswa yang sangat banyak dalam satu kelas. Sementara materi pendidikan dan alat-alat tulis sangat sukar didapat.

Dari sisi kesehatan, yang paling terpengaruh adalah kaum perempuan dan anak-anak. "Perempuan-perempuan hamil, bayi dan anak-anak, tidak mendapat layanan medis yang layak, aborsi ilegal menjadi hal yang biasa, " demikian laporan ICRS.

Selain itu, banyak pengungsi di Irak yang menderita gangguan psikologis dan beberapa di antara mereka ada yang terjerumus menjadi anggota kelompok bersenjata. "Perkosaan, kelompok gang bersenjata, pencurian dan kecanduan obat-obatan terlarang menjadi hal yang biasa terjadi di kalangan pengungsi, " tulis ICRS.

Selain menjadi pengungsi di negerinya sendiri, banyak rakyat Irak yang menjadi pengungsi ke negara lain seperti Suriah, Yordania, Mesir, Libanon dan Iran. Sama seperti nasib pengungsi di Irak sendiri, mereka juga mengalami persoalan finansial, kesehatan dan akomodasi. Sementara hanya sedikit lembaga kemanusiaan yang membantu mereka. (ln/middleeast-ol)
Berita Terkait

* PBB: 4, 2 Juta Jiwa Rakyat Irak Jadi Pengungsi di Berbagai Negara
* Derai Tangis Jutaan Pengungsi Irak di Berbagai Negara, Belum Berhenti
* Irak Alami Tragedi Pengungsian Terbesar Dalam 50 Tahun Terakhir di Dunia Islam
* PM Nuri Maliki Diminta Lindungi Pengungsi Palestina di Irak
* Pemerintah Suriah Keluarkan Aturan Baru Bagi Pengungsi Irak

Terkait lainnya
Berita Sebelumnya

* Datang ke Palestina Sebagai Imigran Yahudi, Sekarang Memeluk Islam
* Israel Bebaskan 250 Tahanan, Lecehkan Rakyat Palestina
* AS Dukung Penyerbuan ke Masjid Merah

Arsip



Baca Selengkapnya ......

Bahasa Cinta

Oleh Setta

Jam dinding menunjukkan pukul 10 pagi lebih beberapa menit saat keponakan saya yang masih duduk di bangku SD kelas dua tiba dari sekolah dengan sepedanya. Masih dari jalan depan rumah, ia sudah berteriak lantang kepada ibunya—Bibi saya, meminta uang dua ribu rupiah. Ya, hanya dua ribu rupiah memang. Tetapi untuk anak kecil seusianya yang tinggal di sebuah desa kecil, uang sejumlah itu nilainya sudah cukup besar.

Oleh Setta

Jam dinding menunjukkan pukul 10 pagi lebih beberapa menit saat keponakan saya yang masih duduk di bangku SD kelas dua tiba dari sekolah dengan sepedanya. Masih dari jalan depan rumah, ia sudah berteriak lantang kepada ibunya—Bibi saya, meminta uang dua ribu rupiah. Ya, hanya dua ribu rupiah memang. Tetapi untuk anak kecil seusianya yang tinggal di sebuah desa kecil, uang sejumlah itu nilainya sudah cukup besar.

Tak kalah lantang, ibunya menimpali permintaan itu dengan emosional. Saya yakin, jika ada di rumahnya, tetangga kanan kiri rumah akan mendengar dengan sangat jelas suara Bibi saya itu. Sebenarnya pertanyaan standar saja; ia menanyakan untuk apa uang sejumlah itu? Hanya saja, pertanyaan standar itu terdengar seolah menjadi sebuah “kemurkaan” di telinga keponakan saya karena intonasi suaranya yang sangat tinggi. Bibi saya juga langsung ber-su’uzhan, bahwa uang sejumlah itu akan dibelikannya mainan karena hari itu ada seorang warga yang sedang hajatan mengadakan hiburan Orgen, yang tentu saja akan banyak orang berjualan di sana. Tanpa memberinya kesempatan berdialog untuk mengutarakan alasannya meminta uang sejumlah itu dengan bahasa cinta seorang ibu.

Bisa ditebak, keponakan saya langsung mengeluarkan jurus pamungkasnya: menangis seketika. Masih lengkap dengan seragam sekolahnya yang belum sempat dilepasnya. Cukup lama ia menangis. Di sela tangisannya, di antaranya ia menyebut-nyebut uang miliknya dari pemberian para famili yang “diminta” (baca: disimpan) oleh ibunya.

Bibi saya yang tidak sabaran dan cenderung emosional, mendengar anaknya menyebut-nyebut uang miliknya yang “diminta” olehnya, menanggapinya juga dengan kurang bijak. Ia langsung membuka lemari tempat di mana uang itu disimpan dan diberikannya uang itu semuanya kepada keponakan saya. Habiskan saja semua uang itu, kata Bibi saya masih dengan emosinya pada anaknya yang masih menagis tersedu-sedu di depannya.

Begitulah bahasa cinta yang dimiliki Bibi saya pada anak semata wayangnya.

#

Sekarang, izinkan saya bercerita kepada Anda, jika seandainya kejadian serupa saya alami beberapa tahun yang akan datang. Ya, karena bukan tak mungkin saya juga akan merasakan menjadi orang tua seperti Bibi saya, iya kan?

#

“Mamaa…! Aku minta uang dua puluh ribu!!” Teriak Ahmad lantang masih dari pinggir jalan depan rumah sepulang sekolah dengan sepeda mininya yang dicat warna hijau muda. Anak semata wayangku itu masih duduk di bangku SD kelas dua.

Aku tersenyum lebar mendengar teriakannya. Sambil membukakan pintu samping rumah mungil kami, aku menyapanya dengan wajah matahari sepenggalah. “Assalaamu ’alaikum! Wah, jagoan Mama sudah pulang ya?”

Ahmad turun dari sepedanya dan menuntunnya ke arahku. Walau tampak cuek, akhirnya ia malu-malu menjawab salamku. Ya, aku memang selalu mengingatkannya untuk mengucapkan salam salam setiap akan masuk ke rumah. Tapi tadi mungkin ia lupa. Aku bisa memakluminya.

Sembari Ahmad melepas sepatunya, aku mengambil segelas air putih untuknya dengan mug bergambar lucu kesayangannya. Kemudian aku lap keringat dingin yang membanjir di dahi dan mukanya.

“Stop! Cuci tangan dulu, Sayang…, ” cegahku ketika tangan Ahmad akan menyerobot mug berisi air putih di depannya.

Lagi, meski kelihatan enggan ia menuruti kata-kataku. Ia menuju tempat air untuk mencuci tangannya.

Setelah menghabiskan minumnya, aku mengajak Ahmad ke “ruang santai” rumah kami yang sekaligus menjadi ruang belajar, ruang kerja, dan perpustakaan mini keluarga. Tempat di mana sebuah PC dan printer, beberapa rak berisi koran, majalah, jurnal ilmiah, ensiklopedi, kamus aneka bahasa, Al-Quran dan buku-buku fiksi dan nonfiksi, sebuah whiteboard ukuran sedang, serta beberapa alat permainan kreatif milik Ahmad berada.

Di sana, sambil mengganti seragam sekolahnya, Ahmad mulai bercerita tentang aktivitasnya di sekolah tadi. Aku mendengarkannya antusias sambil memeriksa buku-buku catatan sekolahnya. Wah, pagi ini Ahmad mendapat nilai 10 untuk Matematika, 9 untuk Bahasa, dan 7.5 untuk Menggambar. Tak mau kehilangan momen baik, aku pun memberikan ucapan selamat untuknya dan lebih memotivasinya agar menjadikan belajar dan sekolah sebagai salah satu bentuk ibadah dan bukan semata untuk mendapatkan nilai bagus saja, di antara kalimat-kalimat yang meluncur deras dari bibirnya. Juga mengingatkannya lagi agar pada saat waktu belajar tiba tidak harus selalu diingatkan oleh kami, orang tuanya. Hingga sampailah Ahmad pada cerita itu….

“Mama….” Ahmad tampak sungkan melanjutkan kalimatnya.

Aku menatap mata beningnya dengan cinta. Memintanya untuk tak sungkan bercerita apa adanya tanpa harus dengan berkata-kata. Aku menganggukan kepalaku dan tersenyum lebar untuknya.

“Mama, ee….” Ia masih ragu.

“Ingat tidak apa kata Rosul? Orang jujur disayang…?”

Disayang Allah! Aku yakin sekali Ahmad menjawabnya begitu, meski ia tidak mengucapkannya.

“Tadi di sekolah, Farhan membawa VCD cerita Nabi Musa. Aku sih hanya lihat cover-nya saja. Tapi kata Farhan yang sudah menontonnya, ceritanya bagus banget lho, Ma….” Akhirnya, tanpa diminta Ahmad bercerita tuntas tentang alasannya meminta uang dua puluh ribu rupiah tadi. Sedetil-detilnya dengan penuh harapan aku akan mengabulkan permintaannya.

Setelah mempertimbangkan dengan matang dan penuh perhitungan, aku menjawab rengekannya. “Iya, Mama bisa memahaminya. Coba nanti Ahmad bilang sendiri sama Papa ya? Insya Allah Mama dukung deh. Tapi….”

“Tapi kenapa, Ma?”

“Ada syaratnya. Kalau Papa mengabulkannya, Ahmad harus hafal surat Al-Insyiroh. Oke?”

“………………………………………”

“…………”

#

Begitulah bahasa cinta yang ingin saya ajarkan kepada anak-anak saya kelak. Oh ya, jangan lupa doakan saya semoga bisa menjadi orang tua yang sabar, bijak, dan mendidik buah hati saya dengan cinta suatu hari nanti. Insya Allah.

#

Karang Kandri, 05 Mei 2006 02:10:17 p.m.
setta_81@yahoo.com


www.eramuslim.com


Baca Selengkapnya ......

Bahasa Cinta

Oleh Setta

Jam dinding menunjukkan pukul 10 pagi lebih beberapa menit saat keponakan saya yang masih duduk di bangku SD kelas dua tiba dari sekolah dengan sepedanya. Masih dari jalan depan rumah, ia sudah berteriak lantang kepada ibunya—Bibi saya, meminta uang dua ribu rupiah. Ya, hanya dua ribu rupiah memang. Tetapi untuk anak kecil seusianya yang tinggal di sebuah desa kecil, uang sejumlah itu nilainya sudah cukup besar.

Oleh Setta

Jam dinding menunjukkan pukul 10 pagi lebih beberapa menit saat keponakan saya yang masih duduk di bangku SD kelas dua tiba dari sekolah dengan sepedanya. Masih dari jalan depan rumah, ia sudah berteriak lantang kepada ibunya—Bibi saya, meminta uang dua ribu rupiah. Ya, hanya dua ribu rupiah memang. Tetapi untuk anak kecil seusianya yang tinggal di sebuah desa kecil, uang sejumlah itu nilainya sudah cukup besar.

Tak kalah lantang, ibunya menimpali permintaan itu dengan emosional. Saya yakin, jika ada di rumahnya, tetangga kanan kiri rumah akan mendengar dengan sangat jelas suara Bibi saya itu. Sebenarnya pertanyaan standar saja; ia menanyakan untuk apa uang sejumlah itu? Hanya saja, pertanyaan standar itu terdengar seolah menjadi sebuah “kemurkaan” di telinga keponakan saya karena intonasi suaranya yang sangat tinggi. Bibi saya juga langsung ber-su’uzhan, bahwa uang sejumlah itu akan dibelikannya mainan karena hari itu ada seorang warga yang sedang hajatan mengadakan hiburan Orgen, yang tentu saja akan banyak orang berjualan di sana. Tanpa memberinya kesempatan berdialog untuk mengutarakan alasannya meminta uang sejumlah itu dengan bahasa cinta seorang ibu.

Bisa ditebak, keponakan saya langsung mengeluarkan jurus pamungkasnya: menangis seketika. Masih lengkap dengan seragam sekolahnya yang belum sempat dilepasnya. Cukup lama ia menangis. Di sela tangisannya, di antaranya ia menyebut-nyebut uang miliknya dari pemberian para famili yang “diminta” (baca: disimpan) oleh ibunya.

Bibi saya yang tidak sabaran dan cenderung emosional, mendengar anaknya menyebut-nyebut uang miliknya yang “diminta” olehnya, menanggapinya juga dengan kurang bijak. Ia langsung membuka lemari tempat di mana uang itu disimpan dan diberikannya uang itu semuanya kepada keponakan saya. Habiskan saja semua uang itu, kata Bibi saya masih dengan emosinya pada anaknya yang masih menagis tersedu-sedu di depannya.

Begitulah bahasa cinta yang dimiliki Bibi saya pada anak semata wayangnya.

#

Sekarang, izinkan saya bercerita kepada Anda, jika seandainya kejadian serupa saya alami beberapa tahun yang akan datang. Ya, karena bukan tak mungkin saya juga akan merasakan menjadi orang tua seperti Bibi saya, iya kan?

#

“Mamaa…! Aku minta uang dua puluh ribu!!” Teriak Ahmad lantang masih dari pinggir jalan depan rumah sepulang sekolah dengan sepeda mininya yang dicat warna hijau muda. Anak semata wayangku itu masih duduk di bangku SD kelas dua.

Aku tersenyum lebar mendengar teriakannya. Sambil membukakan pintu samping rumah mungil kami, aku menyapanya dengan wajah matahari sepenggalah. “Assalaamu ’alaikum! Wah, jagoan Mama sudah pulang ya?”

Ahmad turun dari sepedanya dan menuntunnya ke arahku. Walau tampak cuek, akhirnya ia malu-malu menjawab salamku. Ya, aku memang selalu mengingatkannya untuk mengucapkan salam salam setiap akan masuk ke rumah. Tapi tadi mungkin ia lupa. Aku bisa memakluminya.

Sembari Ahmad melepas sepatunya, aku mengambil segelas air putih untuknya dengan mug bergambar lucu kesayangannya. Kemudian aku lap keringat dingin yang membanjir di dahi dan mukanya.

“Stop! Cuci tangan dulu, Sayang…, ” cegahku ketika tangan Ahmad akan menyerobot mug berisi air putih di depannya.

Lagi, meski kelihatan enggan ia menuruti kata-kataku. Ia menuju tempat air untuk mencuci tangannya.

Setelah menghabiskan minumnya, aku mengajak Ahmad ke “ruang santai” rumah kami yang sekaligus menjadi ruang belajar, ruang kerja, dan perpustakaan mini keluarga. Tempat di mana sebuah PC dan printer, beberapa rak berisi koran, majalah, jurnal ilmiah, ensiklopedi, kamus aneka bahasa, Al-Quran dan buku-buku fiksi dan nonfiksi, sebuah whiteboard ukuran sedang, serta beberapa alat permainan kreatif milik Ahmad berada.

Di sana, sambil mengganti seragam sekolahnya, Ahmad mulai bercerita tentang aktivitasnya di sekolah tadi. Aku mendengarkannya antusias sambil memeriksa buku-buku catatan sekolahnya. Wah, pagi ini Ahmad mendapat nilai 10 untuk Matematika, 9 untuk Bahasa, dan 7.5 untuk Menggambar. Tak mau kehilangan momen baik, aku pun memberikan ucapan selamat untuknya dan lebih memotivasinya agar menjadikan belajar dan sekolah sebagai salah satu bentuk ibadah dan bukan semata untuk mendapatkan nilai bagus saja, di antara kalimat-kalimat yang meluncur deras dari bibirnya. Juga mengingatkannya lagi agar pada saat waktu belajar tiba tidak harus selalu diingatkan oleh kami, orang tuanya. Hingga sampailah Ahmad pada cerita itu….

“Mama….” Ahmad tampak sungkan melanjutkan kalimatnya.

Aku menatap mata beningnya dengan cinta. Memintanya untuk tak sungkan bercerita apa adanya tanpa harus dengan berkata-kata. Aku menganggukan kepalaku dan tersenyum lebar untuknya.

“Mama, ee….” Ia masih ragu.

“Ingat tidak apa kata Rosul? Orang jujur disayang…?”

Disayang Allah! Aku yakin sekali Ahmad menjawabnya begitu, meski ia tidak mengucapkannya.

“Tadi di sekolah, Farhan membawa VCD cerita Nabi Musa. Aku sih hanya lihat cover-nya saja. Tapi kata Farhan yang sudah menontonnya, ceritanya bagus banget lho, Ma….” Akhirnya, tanpa diminta Ahmad bercerita tuntas tentang alasannya meminta uang dua puluh ribu rupiah tadi. Sedetil-detilnya dengan penuh harapan aku akan mengabulkan permintaannya.

Setelah mempertimbangkan dengan matang dan penuh perhitungan, aku menjawab rengekannya. “Iya, Mama bisa memahaminya. Coba nanti Ahmad bilang sendiri sama Papa ya? Insya Allah Mama dukung deh. Tapi….”

“Tapi kenapa, Ma?”

“Ada syaratnya. Kalau Papa mengabulkannya, Ahmad harus hafal surat Al-Insyiroh. Oke?”

“………………………………………”

“…………”

#

Begitulah bahasa cinta yang ingin saya ajarkan kepada anak-anak saya kelak. Oh ya, jangan lupa doakan saya semoga bisa menjadi orang tua yang sabar, bijak, dan mendidik buah hati saya dengan cinta suatu hari nanti. Insya Allah.

#

Karang Kandri, 05 Mei 2006 02:10:17 p.m.
setta_81@yahoo.com


www.eramuslim.com


Baca Selengkapnya ......

Semua Ada Awalnya

Oleh Yon's Revolta

Cobalah jangan menjadi orang sukses,

Melainkan berusahalah

untuk menjadi orang yang berharga

(Einstein)

Oleh Yon's Revolta

Cobalah jangan menjadi orang sukses,

Melainkan berusahalah

untuk menjadi orang yang berharga

(Einstein)

Di depan sebuah masjid…

Lelaki berjenggot itu nampak serius bekerja. Mengipas-ngipas bara arang dengan beberapa biji jagung muda diatasnya. Dibolak-balik agar merata sambil ditaburi bumbu sesuai pesanan pembeli. Bisa pedas, gurih atau asin. Silakan tinggal memilih saja. Aroma bumbu taburnya bisa kita hirup lezatnya dari dekat.

Saya kurang tahu tempat tinggal penjual jagung bakar itu di mana. Belum sempat menyapa dan bercerita banyak dengannya. Kapan-kapan kalau diberi kesempatan akan saya ceritakan. Yang saya tahu, sekira sudah sebulan dia berjualan di situ.

Apa yang menarik dari pemandangan itu.

Mungkin biasa saja. Tapi mari kita selami lebih dalam lagi tentang fenomena itu. Barangkali, ada keping-keping hikmah yang tersisa. Keping-keping yang bisa kita petik sebagai renungan tentang kehidupan yang kita jalani selama ini.

Di setiap tempat, apa yang kita lihat, semuanya ternyata bisa menjadi bahan renungan kita. Asalkan kita bisa memandangnya dengan cara yang berbeda. Menelisik lebih dalam atas apa yang kita kita lihat itu. Memang melihatnya tak sekedar dengan dua mata kita, tetapi perlu dengan mata jiwa, mata hati. Dengan begitu, kitapun akan bisa meresapi sampai ke hati pula.

Hari ini, kita belajar tentang proses.

Ijinkan saya bertanya. Adakah yang bisa menjamin bahwa orang itu memang punya cita-cita sebagai seorang penjual jagung bakar? Saya sendiri tak yakin. Saya cenderung memandang apa yang dilakukannya sebagai bagian dari proses. Mungkin dia punya cita-cita lebih dalam berbisnis. Hanya saja, sebagai langkah awal, atau bisa juga keterpaksaan karena hanya peluang itu yang ada, maka pekerjaan itu dilakukannya. Bisa jadi begitu.

Nah, anggap saja apa yang dilakukannya kini kita alami. Kita, mungkin saat ini bekerja belum sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tentu, langkah terindah yang bisa dilakukan adalah mencintai pekerjaan kita. Anggap ini sebagai langkah awal kita untuk meniti karier yang lebih baik dikemudian hari. Sebuah bagian dari proses pencapaian cita-cita dan impian kita.

Sudah teramat banyak cerita orang-orang yang meniti karier dari awal. Seperti orang yang awalnya penjual koran eceran kemudian menjadi “raja media’. Ya, semua itu ada awalnya. Kata pepatah cinta, ribuan mil dimulai dari satu langkah. Pertanyaannya sekarang, apakah langkah kaki kita telah terayunkan. Ataukah kita masih saja terbayang-bayang akan nikmatnya impian. Hari ini, kita coba untuk beranjak berjalan. Selangkah demi selangkah.

Bagi yang sudah beranjak jauh, perlu sejenak menengok dan berevaluasi. Saya agak sepakat dengan kata Einstein yang saya kutip di atas. Tepatnya, jangan melulu untuk berambisi menjadi orang sukses. Tapi berusaha untuk menjadi manusia yang berharga, manusia yang mempunyai kemanfaatan tak hanya bagi dirinya sendiri, tapi bagi orang lain.

Bagi seorang muslim, tentu paham di mana keberadaan manusia dimuka bumi ini memang ditentukan sejauhmana dia bermanfaat bagi orang lain. Kalau hanya mengejar sukses pribadi, tentu kurang afdhol.

Khusus bagi yang sedang melangkahkan sejengkal demi sejengkal kaki meraih capaian puncak, ada baiknya kita ingat pesan Rasulullah Muhammad SAW “Berharaplah dengan kebaikan, pasti kalian akan mendapatkannya”.

Ya, ini awalan bagi kita untuk menggapai puncak yang baik, halal, diridhoi Allah SWT, dan tentunya setelahnya tak hanya kita yang menikmatinya. Tetapi juga bisa berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Semoga, kita bisa melakukannya. (yr)

Rumah Kelana, 10 Juli 2007/ 21. 18.

http://penakayu. Blogspot. Com

www.eramuslim.com


Baca Selengkapnya ......

Jangan Marah....

Oleh Ana Tiara

Sejenak, Jakarta dipenuhi para pecinta sepakbola, Zizou, begitulah panggilan sang pesepakbola dunia asal Prancis yang merupakan imigran itu yang begitu dicintai orang banyak itu. Tapi, ingatkah kita akan kenang-kenangan yang diberikannya kepada penonton pecinta sepakbola? Ya, dia menyeruduk pemain lawannya di medan pertandingan. Spekulasi berkembang di mana-mana. Ada yang bagus dan ada yang tidak bagus.



Oleh Ana Tiara

Sejenak, Jakarta dipenuhi para pecinta sepakbola, Zizou, begitulah panggilan sang pesepakbola dunia asal Prancis yang merupakan imigran itu yang begitu dicintai orang banyak itu. Tapi, ingatkah kita akan kenang-kenangan yang diberikannya kepada penonton pecinta sepakbola? Ya, dia menyeruduk pemain lawannya di medan pertandingan. Spekulasi berkembang di mana-mana. Ada yang bagus dan ada yang tidak bagus.

Marah... Begitulah jawabannya saat ditanya kenapa saat itu dia menyeruduk pemain lawannya dari Italia. Ya, dia marah saat dia diejek lawannya itu untuk tujuan marah sehingga konsentrasinya pecah saat pertandingan penentuan saat itu. Siapa yang tidak marah kalau ibunya direndahkan atau dirinya dicap sebagai anak teroris?

Marah... Salah satu bagian dari emosi ini memang paling sulit dikendalikan. Marah untuk kebaikan, sering digunakan untuk membenarkan tindakan kita yang memang sudah kita anggap benar itu. Tapi, melihat bentuk kemarahan, akan lebih baik untuk kita jika menelaahnya dulu baru bereaksi kemudian karena akibat dahsyat yang dihasilkannya tidak kurang bisa melebihi bom atom atau nuklir....

Marah adalah senjata ampuh untuk mengoyak-koyakkan pemikiran. Marah adalah jalan pintu syeitan yang dengan mudah mengalir di nadi-nadi pembuluh darah kita untuk mengaburkan apa yang sudah tertanam dengan baik. Marah adalah bentuk reaksi yang bisa menimbulkan reaksi lain, masih untung reaksi yang timbul membawa kebaikan, namun kalau sebaliknya bagaimana? Marah adalah salah satu bentuk reaksi yang diharapkan untuk menghancurkan umat oleh musuh-musuh Islam....

Setiap orang berhak marah? Rasulullah pun pernah marah saat melihat perempuan muslim berjilbab diganggu kafir Arab saat pakaian perempuan yang tertutup rapat itu dibuka ramai-ramai, kata sejarah yang saya pelajari begitu. Beliau marah, tapi penyaluran marah beliau untuk menyelamatkan umatnya dari segala sisi. Apa jadinya kita kalau marah hanya untuk ekspresi diri demi yang bernama kepuasan hati....

Hati adalah sebuah jendela tak bernama yang mempunyai tuan. Tuannya akan menggerakkannya semau dia membawanya. Kalau dia baik, insya Allah akan terbawa baik, kalau dia buruk, na’udzubillah....

Hati yang beku tidak akan bisa marah, takut, sedih, atau mencintai. Separah dan semudah itukah ungkapan “hati beku” kita berikan kepada seseorang? Semisal Zizou juga. Keputusan adalah proses penelaahan di dalam hati yang ditransmisikan ke otak lalu dialirkan ke pembuluh-pembuluh darah di semua nadi tubuh lalu kembali ke arteri hingga menuju jantung sebagai pusatnya dan berbuah reaksi. Sejauh mana Anda bisa menahan amarah Anda?

www.eramuslim.com

Baca Selengkapnya ......

Monday, July 2, 2007

Saat Tuhan Memanggilku

Oleh Merrihastuti

Bersyukur adalah menikmati penderitaan sama seperti menikmati kebahagiaan. Mengapa kita harus memilah-milih sesuatu yang diberi oleh Dzat yang sangat menyayangi kita? Tuhan memanggil kita, kadang dengan cara yang meyenangkan hati kita, tapi kita menganggap itu suatu rahmat, hingga kita terlena bahkan lupa dengan kewajiban kita. Akhirnya kita didekatkan dengan Tuhan dengan cara yang menyakitkan. Seperti kehilangan sesuatu yang sangat kita sayangi. Entah itu materi, seseorang yang sangat kita sayangi, atau jabatan serta kekuasaan yang kita banggakan.

Oleh Merrihastuti

Bersyukur adalah menikmati penderitaan sama seperti menikmati kebahagiaan. Mengapa kita harus memilah-milih sesuatu yang diberi oleh Dzat yang sangat menyayangi kita? Tuhan memanggil kita, kadang dengan cara yang meyenangkan hati kita, tapi kita menganggap itu suatu rahmat, hingga kita terlena bahkan lupa dengan kewajiban kita. Akhirnya kita didekatkan dengan Tuhan dengan cara yang menyakitkan. Seperti kehilangan sesuatu yang sangat kita sayangi. Entah itu materi, seseorang yang sangat kita sayangi, atau jabatan serta kekuasaan yang kita banggakan.

Sadarlah bahwa kita, manusia menuruni sifat-sifatnya. Pernahkah kita berfikir bahwa Tuhan itu pencemburu? Tuhan tak pernah mau diduakan dengan apapun. Seperti saya seorang wanita, tak pernah mau diduakan oleh suami saya. Apalagi buat seorang pria. Tapi mengapa kita sering mengkultuskan sesuatu. Tergila-gila pada seseorang sampai hampir bunuh diri. Haus jabatan sampai halalkan segala cara. Pernahkah kita tergila-gila pada Tuhan, sampai ingin bertemu denganNya secepat mungkin?

Saat itu, Tuhan memanggil saya. Dengan memisahkan saya dari suami saya. Begitu sakit hati saya. Dalam pikiran saya saat itu, mengapa saya? Apa salah saya Tuhan? Mengapa Tuhan kejam? Mengapa Tuhan ingin saya meneteskan airmata? Apa yang Tuhan mau dari saya?

Dalam sebulan saya kehilangan 5 kg berat badan. Tidak bisa tidur, makan, apalagi konsentrasi dengan pekerjaan. Betapa saya sangat kehilangan orang yang saya cintai. Betapa sepi tanpa dia. Betapa saya merasa sangat sendiri, padahal Tuhan bersama saya.

Bulan kedua setelah perpisahan saya dengan suami, saya banyak habiskan waktu dengan membaca. Satu yang saya yakini " BERSAMA KESULITAN PASTI ADA KEMUDAHAN." Saya jadi rajin mengikuti pengajian dan diskusi keagamaan. Jujur, awalnya hanya untuk lupakan suami dan menerima dengan ikhlas walau terpaksa.

Tapi kemudian, manfaat yang saya rasakan sangat mendalam. Membekas dalam relung hati saya. Doa saya yang tadinya meminta agar Tuhan mengembalikan suami saya yang pergi, kemudian berubah agar diberi kesabaran bila harus kehilangan. Minta diberi kekuatan bila harus sendirian menjalani hidup. Minta keikhlasan atas apa yang Tuhan beri.

Selain doa, ternyata usaha juga perlu. Dengan setia saya menunggu suami, kalau-kalau dia menghubungi saya. Menunjukan kasih sayang saya dengan menanyakan kabarnya. Walau kadang ada rasa tidak percaya bahwa dia akan datang pada saya lagi.

Finally, setelah Tuhan "menyentil" saya, saya tersadar. Betapa selama ini saya mendewakan suami saya. Betapa selama ini, hidup dan pikiran saya hanya untuk dia. Padahal dalam sholat ada doa "sesungguhnya sholatku, hidupku, mati hanya untuk Tuhan semesta alam."

Dengan kesadaran dan pemahaman baru, saya merasa tenang. Sampai akhirnya suami yang saya cintai datang lagi. Saya tetap menyayanginya, tentu dengan cara yang berbeda

Sedang Tuhan saja pemarah, mengapa suami saya, manusia yang dituruni sifatNya tidak? Kalo Tuhan saja Maha pengampun dan pemberi maaf, mengapa saya, yang manusia tidak memberi maaf?

Terimalah kemarahan dan kasih sayang sebagai satu paket dari yang kita cintai dengan ikhlas.

www. eramuslim.com


Baca Selengkapnya ......

Memaafkan Itu Melegakan

Oleh Susiana Dewi Ratih

Apa yang terjadi padaku ini mungkin bisa untuk berbagi:

Ayah dan ibuku sudah menghadapNYA 5 tahun yang lalu, mereka pergi dalam tahun yang sama, hanya berbeda 6 bulan. Ibuku wafat lebih dulu, baru kemudian ayah.

Oleh Susiana Dewi Ratih

Apa yang terjadi padaku ini mungkin bisa untuk berbagi:

Ayah dan ibuku sudah menghadapNYA 5 tahun yang lalu, mereka pergi dalam tahun yang sama, hanya berbeda 6 bulan. Ibuku wafat lebih dulu, baru kemudian ayah.

Ibuku pergi pada saat hubungannya dengan ayah pada kondisi yang kurang baik. Ibu dan ayahberada pada konflik suami isteri yang sangat mendalam, dan berada di ambang perpisahan. Kemudian Ibu jatuh sakit, dan akhirnya wafat pun, beliau masih membawa rasa kecewa dan marah itu pada Ayah.

Aku pun menjadikan ayah sebagai penyebab perginya ibu. Walaupun tidak pernah kuutarakan langsung kepada beliau, tapi itu tertanam erat dalam hati. Aku tetap melayani beliau, walau tidak lagi dengan hati tulus 100%..

Sampai beliau wafat, dan bertahun-tahun sesudahnya, aku masih tetap menyimpan amarah dan kecewa pada ayah. Dan, selama itu pula, tanpa sadar ada beban berat yang kutanggung dalam hati. Rasanya setiap helaan nafasku terbebani oleh sesuatu. Hal ini juga berakibat dengan hubungan sosialku. Selalu ada rasa curiga pada orang lain, dan selalu berpikir negatip. Akibatnya juga, berpengaruh pada langkah karirku, yang selalu terhambat. Aku selalu gagal mencapai apa yang aku usahakan. Contohnya, berkali-kali aku selalu gagal pada promosi yang diberikan padaku.

Ketika beban kecewaku semakin tak tertahankan, aku bertanya pada seorang udztad, adakah doa yang bisa membuatku tenang? Karena semua doa telah kupanjatkan, shalat-shalat sudah kujalankan, tapi selalu saja aku tidak merasa tenang dan merasa semua aspek dalam hidupku tidak ada yang berjalan lancar.

Udztad itu pun bertanya, apakah juga doa-doa itu dipanjatkan untuk kedua orang tuaku yang sudah wafat? Adakah kekecewaan yang aku simpan terhadap mereka? Jika ada, Mohon ampunan pada Allah SWT, dan cobalah memaafkan dengan ikhlas.

Aku terdiam dan terhenyak, aku menyadari sesuatu, aku sangat tahu, selama ini doa-doa yang kupanjatkan hanya untuk ibu almarhumah, aku berdoa untuk ayah hanya karena kewajiban saja, tidak tulus dan ikhlas.

Dan kesadaran makin jelas, karena akupun telah berbuat dosa dengan tetap memendam amarah serta kekecewaanku pada beliau.padahal beliau sudahwafat. Ya Allah, betapa jahatnya aku.

Akhirnya, aku berwudhlu, serta melakukan shalat tobat, tak terasa airmata tumpah ruah, penyesalan, kekecewaan, serta kerinduan pada ayah dan ibu keluar semua bersama tangis. Aku mohon ampunan pada Allah, memohon maaf pada ayah dan ibuku, serta memaafkan ayah pada apa yang telah beliau pernah lakukan pada keluarganya.

Aku tiba-tiba bisa melihat permasalahan dari sisi berbeda, dan tanpa amarah, yang ada adalah pemakluman serta maaf.

Setelah itu, hatiku jadi ringan, aku bisa melihat semua masalahku dengan cara berbeda, dan mampu mencari solusi atas semua masalah hidup yang selalu datang padaku. Hatiku menjadi lebih tenang. Sungguh karunia yang sangat besar dari Allah SWT.

Terima kasih ya Allah, ternyata, memaafkan itu melegakan.

www.Eramuslim.com


Baca Selengkapnya ......