Wednesday, March 28, 2007

Senyuman di Hotel

Oleh Bayu Herlambang

"Selamat siang Bu... Selamat siang Pak... " sapa lelaki karyawan hotel berseragam batik itu ramah menyambut setiap orang yang masuk ke hotel. Kutaksir usianya sekitar 40-an tahun. Selain menyapa dengan ramah, dia juga tak segan menanyakan "ada yang bisa saya bantu?" dan kemudian dengan membungkukkan badan, melipat keempat jari kanan dan mengacungkan jempolnya mengarajavascript:void(0)
Publishhkan tamu ke resepsionis, "silakan Bu, monggo Pak.." Intonasi kata, gerak tubuh serta mimik wajah yang dibungkus dengan senyuman pertanda bahwa keramahan khas Solo itu disampaikannya dengan tulus.

Oleh Bayu Herlambang

"Selamat siang Bu... Selamat siang Pak... " sapa lelaki karyawan hotel berseragam batik itu ramah menyambut setiap orang yang masuk ke hotel. Kutaksir usianya sekitar 40-an tahun. Selain menyapa dengan ramah, dia juga tak segan menanyakan "ada yang bisa saya bantu?" dan kemudian dengan membungkukkan badan, melipat keempat jari kanan dan mengacungkan jempolnya mengarahkan tamu ke resepsionis, "silakan Bu, monggo Pak.." Intonasi kata, gerak tubuh serta mimik wajah yang dibungkus dengan senyuman pertanda bahwa keramahan khas Solo itu disampaikannya dengan tulus.

Pagi itu selesai sarapan aku duduk di lobby hotel menunggu rekan yang berjanji menjemputku untuk mengunjungi beberapa pelanggan di kota itu. Mata ini tertarik memperhatikan gerak dan sikap karyawan hotel tersebut yang tidak berhenti menyapa ramah siapapun yang lewat di hadapannya... Terus saja begitu tanpa berhenti melepas senyum. Kemaren saat check-in hotel inipun aku mendapat perlakuan dan sapaan ramahnya. Empat bulan yang lalu, setahun yang lalu, dan sudah sekian kali aku ke sini, tetap kulihat keramahan karyawan hotel itu.

Ingin rasanya aku berbincang dengannya untuk mengorek cerita tentang kebiasaannya itu. Apakah karena diwajibkan pihak hotel (tapi kenapa senyum & keramahan karyawan lain tidak se-spontan dia), apakah memang kebiasaan saja, ataukah karena ada pemilihan karyawan teladan tiap bulan di hotel ini, atau mungkin berharap uang tip dari tamu…. Akh aku tidak mau berprasangka buruk lebih jauh.

Dan sebetulnya aku juga ingin meng-apresiasi kebiasaan baiknya itu sembari bercerita padanya bahwa hotel-hotel besar semacam Ritz Carlton, Four Season, dll memang mewajibkan karyawannya seperti itu, selain juga harus mencatat apa yang tamu sukai dan tidak. Setiap karyawan sudah memiliki data si tamu sehingga ketika ngobrol dengan tamu, terkesan sang karyawan seperti sudah kenal lama dengan si tamu.

Akhirnya kesempatan itu datang juga saat dia mau melintas di depanku setelah mengantarkan welcome-drink buat tamu di resepsionis. Seperti dugaanku, dia menyapaku duluan, “apa kabar Pak pagi ini, sampun sarapan, atau ada yang bisa saya bantu?” Sambil berbasa-basi, dengan hati-hati aku mengarahkan pembicaraan ke kebiasaannya mengumbar keramahan itu.

Diapun mengungkapkan alasan, “nyuwun sewu Pak, kulo awam, tapi pernah denger kanjeng ustad bilang kalau senyum itu ibadah, gratis tur gampang. Lha wong Gusti Allah memberi kita peluang & kemudahan untuk dapat pahala kenapa ndak dipake, nggih tho Pak?”

Serasa kesejukan menerpaku mendengar penjelasan yang sederhana tapi bermakna. Kuurungkan niat menceritakan kewajiban di hotel besar tadi. Bukankah segala sesuatu akan tulus ikhlas dilakukan jika sudah diniatkan untuk beribadah….


Baca Selengkapnya ......

Tuesday, March 27, 2007







Baca Selengkapnya ......

Kenapa Mesti Malu?

Oleh Seriyawati

Hari itu seperti biasanya saya mengantar dan menjemput Kiki, anak perempuan saya latihan Shorinji kempo. Dan ketika menjemputnya, saya melihat dia berbicara dengan temannya, seorang anak laki-laki yang sama-sama belajar kempo.


Oleh Seriyawati

Hari itu seperti biasanya saya mengantar dan menjemput Kiki, anak perempuan saya latihan Shorinji kempo. Dan ketika menjemputnya, saya melihat dia berbicara dengan temannya, seorang anak laki-laki yang sama-sama belajar kempo.

Saya tidak begitu menaruh perhatian pada mereka dan tetap menunggu anak saya selesai berbicara.
"Ada apa, Ki?" tanya saya setelah Kiki mendatangi saya.
"Teman Kiki bilang, 'Kenapa Mama memakai pakaian seperti itu di Jepang?
Apa ngga malu?" jawab Kiki.
"Terus Kiki, jawab apa?" tanya saya lagi.
"Mama nggak malu, kok. Mama pakai baju orang Indonesia.., " jawab Kiki.
"Ini pakaian orang Islam, Kiki, bukan pakaian orang Indonesia. Memang Mama ngga malu, kok. Nggak usah malu. Ya, jangan malu... " jelas saya.

Sambil mengayuh sepeda menuju pulang, saya bertanya lagi.
"Terus... Teman Kiki bilang apa lagi?" tanya saya tertarik.
"Dia cuma bilang, 'Oohhh'...."
"Hebat ya Kiki, bisa ngomong gitu sama temannya..., " puji saya.
"Lagipula kenapa harus malu, ya... " kata saya lagi.
"Oh ya, Kiki malu ngga dengan Mama?" tanya saya ingin tahu.
"Ngga... " sahutnya kalem.
Syukurlah. Saya menarik napas lega diam-diam.

***

Suatu hari saya mengajak anak-anak ke rumah teman.
Begitu memasukkan tiket, kereta listriknya datang dan segera pergi lagi meninggalkan kami yang tergopoh-gopoh menuruni tangga mengejarnya.
Tetapi akhirnya kereta listrik itu berangkat tanpa kami di dalamnya.
"Yaaahhh... Kita harus nunggu 10 menit lagi, " kata saya kecewa.
Anak-anak pun terlihat kecewa.

Sewaktu menunggu kereta bawah tanah datang, saya lihat anak-anak saya berbisik-bisik.
"Ada apa, sih?" Rasa keki membuat saya mengajukan pertanyaan.
"Itu ada teman Kiki. Miraretakunai...(ngga mau dilihat sama dia). "
"Kenapa? Kiki malu?" tanya saya seakan tahu apa yang dikhawatirkannya.
"Kalau ketemu nanti Kiki jadi harus ngomong begini begitu, " kata Kiki.
"Ngomong begini begitu, apa maksudnya, Ki?" tanya saya keheranan.
"Iya, Kiki kan jadi harus nerangin kenapa Kiki pake ini, " katanya sambil memegang jilbab warna biru mudanya.
"Tapi kan... Kalau dia teman Kiki yang baik, yah ngga apa-apa dong kalo lihat Kiki pakai jilbab?" tanyaku menyelidik.
"Hmmm..., " sahut Kiki pelan bernada ragu.
"Cuma malas aja kok ngejawab tanya-tanya, teman Kiki itu."

"Memangnya Kiki malu ya dilihat teman sekolah sedang pakai jilbab?"
tanya saya. Saya lihat Kiki diam sejenak dan menggeleng.
"Nggak, inilah Kiki yang sebenarnya. (Hontou no Kiki no shotai). Kenapa Kiki mesti malu!" jawabnya tiba-tiba.
"Begitu, dong!" kata saya membanggakannya.

***

"Bukan kita yang mesti malu dengan pakaian yang kita pakai. Lagipula kenapa kita mesti malu? Bukankah kita memakai pakaian yang memang disuruh Allah. Kalau kita pakai baju yang kelihatan pahanya, bahunya,
lehernya, nah orang yang pakai itu yang harusnya malu. Iya, ngga, Ki?"
tanya saya minta persetujuannya.
Tapi kenapa ada teman mama yang ngga pakai jilbab?" serbu Kiki.
Glek. Saya terdiam sejenak.
"Iya, mungkin mereka belum tahu, Ki. Mereka belum tahu bagaimana nyaman dan enaknya memakai ini. "
Tangan saya menunjuk pakaian panjangnya.
"Yang mama yakin, kalau mama memakai ini, perasaan mama tenang. Ngga ada perasaan bersalah, dan yang penting mama ngga mau dimarahi Allah. "
"Dimarahi Allah, Ma?" tanya Kiki bernada kaget.
"Iya. Kan, kalau ngga ikut kata Allah, nanti Allah marah, ngga sayang sama kita... "
"Mama pernah baca di buku, katanya orang yang ngga memakai jilbab akan dijauhkan dari surga, dan takkan mencium baunya surga. Wah, takkan mencium bau surga... Artinya jauh dari surga, malah ngga masuk surga dong ya... " jelas saya.
"He! Ngga mau ah... Kiki mau masuk surga, " kata Kiki antusias.

Jauh di dalam hati saya merenung. Masih banyak PR yang mesti saya siapkan yang harus saya ajarkan kepada anak-anak saya. Betapa Islam itu indah dan penuh keringanan-keringanan bagi penganutnya. Tidak ada keberatan-keberatan yang tak bisa dipikul hamba-hamba-NYA. Bukankah Allah takkan memberi cobaan di luar kesanggupan hamba-NYA?

Rasulullah salallahu 'alaihiwassalam bersabda, "Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih. Dan malu adalah salah satu cabang iman. "
Rasulullah juga bersabda, "Malu itu tidak datang kecuali dengan membawa kebaikan. "

" Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Hal itu agar mereka lebih mudah dikenal dan karena itu mereka tidak diganggu" (al-Ahzab, 59).

Nagoya, Maret 2007

www.eramuslim.com

Baca Selengkapnya ......

Monday, March 26, 2007

Kejaiban Sebuah Harapan

Oleh Yon's Revolta

Ketika satu pintu tertutup maka pintu lain terbuka.

Namun, kita sering kali terpaku menyesali pintu yang tertutup itu,

hingga tak bisa melihat pintu lain yang terbuka bagi kita

~Alexander Graham Bell~

(Ilmuwan dan Penemu)

Oleh Yon's Revolta

Ketika satu pintu tertutup maka pintu lain terbuka.

Namun, kita sering kali terpaku menyesali pintu yang tertutup itu,

hingga tak bisa melihat pintu lain yang terbuka bagi kita

~Alexander Graham Bell~

(Ilmuwan dan Penemu)

Saya dapat oleh-oleh dari acara kajian semalam. Bukan makanan yang enak, tapi kisah tentang keajaiban sebuah harapan. Awalnya saya pendam saja sebagai masukan tersendiri bagi jiwa saya. Tapi kemudian saya pikir akan punya kemanfaatan yang lebih jika saya mau berbagi. Yah, karena untuk berbagi harta saya belum cukup mampu, maka izinkan saya berbagi cerita ini untuk Anda. Syukur-syukur bisa membuka cakrawala dan wawasan yang berbeda dalam meneropong sisi kehidupan yang penuh liku ini.

Mentor spiritual saya yang menjadi pembicara semalam tidak membawakan materi yang berat dan spesifik, hanya menceritakan kehidupan salah satu tetangganya. Sebut saja Pak Sholeh (bukan nama sebenarnya), awalnya dia dan keluarganya hidup makmur berkecukupan. Mempunyai banyak usaha, anaknya juga begitu. Salah stunya punya usaha warnet yang rame di Jogjakarta. Namun, layaknya roda, kehidupan ini berputar, tak selamanya orang merasakan hidup senang dengan harta yang melimpah.

Pada suatu waktu, usahanya bangkrut. Keluarganya menyalahkannya sebagai biang dari kebangkrutan. Walaupun masih berkumpul dengan keluarganya, tapi dia merasa ada sesuatu yang berbeda, harga dirinya sebagai kepala keluarga dipandang sebelah mata oleh isteri dan anak-anaknya. Dia memang merasa bersalah, tapi perubahan sikap keluarganya yang drastis tersebut telah mengusik hatinya, membuatnya sedikit terluka. Dalam kondisi demikian, si bapak ini lebih banyak merenung sambil berpikir untuk memulai usaha lagi dari nol karena memang hartanya telah habis, telah bangkrut.

Dan..Si bapak mulai merintis kerja menjadi tukang rombeng

Pekerjaan sebagai tukang rombeng (mencari barang-barang bekas) memang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Awalnya dengan terpaksa melakukan pekerjaan itu. Tapi pelan-pelan menjadi biasa. Begitulah hari-hari melelahkan dijalaninya sambil tetap terus merenungkan diri tentang keadaan yang menimpanya. Dia lantas lebih banyak berpikir tentang eksistensi dirinya dan kekadiran akan Tuhan. Ya, dia mulai sadar bahwa selama ini jarang menghadirkan Tuhan dalam hatinya, lebih banyak lalai, lebih banyak lupa.

Nah, pada suatu waktu, si bapak ini mendaptkan uang enambelas ribu limaratus (Rp 16. 500) seharinya. “Lumayan”, gumamnya sambil mengusap peluh di keningnya. Karena siang begitu terik dan diri terasa lelah, mampir ke sebuah warung untuk membeli minuman. Dalam warung tersebut, ada dua orang lelaki yang sedang asyik bermain catur. Entah apa yang ada dalam pikirannya, dia justru mentraktir keduanya minum teh botol bersama, ya, bapak tukang rombeng ini yang membayarnya.

Rupanya, salah satu lelaki itu terkesan. Berawal dari traktiran itu, salah satu bapak tersebut mengajak si tukang rombeng kerumahnya, ngobrol sana sini. Di sinilah kemudian terseritakan apa yang dialami tukang rombeng itu. Termasuk cerita tentang keluarganya yang tak lagi menghargai dirinya setelah jatuh ke jurang kemiskinan. Mendengar ceritanya, hatinya pun luluh dan trenyuh. Peristiwa tak terduga berjalan spontan. Kebetulan, ada sebuah rumah yang masih kosong yang masih menunggu pembeli. Dan tukang rombeng ini disuruh untuk menempati saja tanpa harus bayar.

Subhanallah, bersyukurlah dirinya. Tentu, semuanya bukan semata-mata karena sebotol teh, tetapi karena ketulusan dan kegigihan dalam hidupnya. Rela menjalani kehidupan dengan pekerjaan yang belum pernah terbayangkan sebelumnya untuk kembali mencapai kesuksesan seperti sediakala. Tak kenal putus asa, yang ada hanyalah harapan akan sebuah nasib yang lebih baik kelak kemudian. Cerita diakhiri ketika tukang rombeng sedang merintis usaha baru di sebuah rumah yang ditempatinya secara cuma-cuma.

Kawan, inilah kejaiban sebuah harapan…

Kita, tentu pernah mengalami kondisi yang pelik, kondisi di mana kadang mustahil sebuah persoalan bisa terselesaikan. Namun, karena kekuatan sebuah harapan, kita pelan-pelan toh akan bisa menyelesaikan persoalan itu. Jika tak ada harapan, bisa jadi keterputusasaan yang muncul. Orang frustasi memikirkan guncangan masalah hebat menghantui dirinya, ujungnya bisa bunuh diri. Nah, bagi Anda yang kini sedang dihimpit masalah besar. Hidupkan kekuatan harapan, hilangkan rasa putus asa dan berkeluh kesah berkepanjangan. Dan, Anda akan menjadi orang hebat kelak ketika bisa melalui liku roda kehidupan yang kurang menyenangkan ini.

Snow Man Alone

26//3//07

freelance_corp @yahoo. Com

www.eramuslim.com


Baca Selengkapnya ......

Tahukah Anda: Kehebatan Tentara Zionis-Israel Cuma Mitos


Zionis-Yahudi merupakan kaum yang banyak diselubungi mitos dan kedustaan. Beberapa mitos yang terus dipelihara hingga kini dan terus disebar-luaskan lewat corong-corong media massa yang dikuasainya, antara lain: Kaum Yahudi adalah bangsa pilihan Tuhan, kaum Yahudi adalah bangsa yang cerdas.

Zionis-Yahudi merupakan kaum yang banyak diselubungi mitos dan kedustaan. Beberapa mitos yang terus dipelihara hingga kini dan terus disebar-luaskan lewat corong-corong media massa yang dikuasainya, antara lain: Kaum Yahudi adalah bangsa pilihan Tuhan, kaum Yahudi adalah bangsa yang cerdas.

Mitos lainnya, kaum Yahudi merupakan korban terbesar dalam Perang Dunia II lewat peristiwa pembantaian massa yang dilakukan Nazi-Jerman lewat apa yang dinamakan Holocoust (The Final Solution), MOSSAD dan Israeli Defense Force (IDF) merupakan dinas rahasia dan tentara terhebat di dunia, dan sebagainya.

Klaim Zionis-Yahudi tentang Tanah Palestina juga merupakan kebohongan besar. Karena lewat pengkajian sejarah yang banyak dilakukan sejarawan Barat sendiri, mereka menemukan bahwa klaim Yahudi ini tidak ada dasar ilmiah dan historisnya.

Mitos Tentara Israel

Salah satu mitos yang paling banyak digembar-gemborkan kaum Zionis, adalah klaim bahwa tentara Zionis-Israel merupakan tentara yang paling canggih peralatannya, paling kuat staminanya, paling berani nyalinya, paling cerdik strateginya, dan paling hebat segala-galanya.

Banyak kalangan kena tipu oleh klaim tidak berdasar ini. Bahkan perwira Indonesia juga banyak yang terkecoh dengan promosi Zionis yang menyebutkan bahwa senjata buatan Israeli Military Industries (IMI) merupakan yang terhebat di dunia. Beberapa tahun lalu kita tentu pernah mendengar kontroversi pembelian sejumlah senjata api buatan Israel yang dilakukan militer kita.

Salah satu senjata api yang jadi dibeli TNI adalah sejenis Assault Rifle (Senjata Serbu) bernama Galil-Galatz/99R yang telah dimodifikasi menjadi senjata sniper dengan tambahan teropong dan dudukan di depan magasinnya. Senjata dengan kaliber 7, 62 mm ini oleh IMI dipromosikan sebagai senjata andalan IDF dan termasuk senjata sniper multi target, bisa menembak personel maupun anti-material.

Benarkah Galil-Galatz/99R ini hebat? Ternyata tidak sepenuhnya benar. Menurut review Jane’s Defense International yang melakukan perbandingan (benchmarking) terhadap sejumlah senjata sejenis, disimpulkan bahwa Galil-Galatz/99R jempolan hanya di harga jual alias mahal harganya, sedangkan tingkat akurasi payah.

Senjata made in Israel ini berada di bawah senjata sejenis seperti M76/SVD Dragunov (Rusia), L96A1/Magnum (Inggris), Barret 82 (AS), Heckler & Koch PSG-1 (Jerman), dan FR-F2/F1 (Perancis).

Bukan itu saja, salah satu kebohongan yang dilansir tentara Zionis ini adalah tentang kehebatan Tank Merkava sebagai tank serbu yang sangat lincah, dahsyat daya hantamnya, dan kuat lapisan bajanya. Mitos tank Mekava hancur beberapa bulan lalu saat tank-tank andalan AB Israel ini banyak yang hancur-lebur jadi korban hantaman misil-misil panggul milisi Hizbullah di Lebanon.

Kopassus-nya Israel Pengecut

Seorang dokter yang banyak melanglang buana ke banyak daerah konflik dunia seperti Afghanistan, Irak, Palestina, beberapa bulan lalu baru tiba dari Lebanon. Saat itu perang antara tentara Zionis-Israel melawan milisi Hizbullah baru saja berakhir dengan kemenangan di pihak Hizbullah.

Kepada Eramuslim, dokter ini membawa oleh-oleh cerita yang dia dapat dari lapangan. Dia sempat bertemu dengan sejumlah tokoh puncak HAMAS dan Hizbullah dan mendapat banyak informasi menarik yang bisa diambil sebagai pelajaran.

Ada dua peristiwa menarik. Yang pertama, saat pasukan elit Israel, Brigade Golani, menyerbu Bent Jubail, sebuah wilayah yang dikenal sebagai salah satu basis Hizbullah di Lebanon.

“Tidak ada yang mengetahui siapa saja anggota gerilyawan Hizbullah. Mereka sehari-hari bekerja sebagai penduduk biasa. Ada yang jualan buah, dagang di pasar, dan sebagainya. Namun ketika ada tanda bahaya bahwa tentara Israel menyerbu, maka semua ‘orang biasa’ itu lenyap. Pasar jadi sepi. Mereka semua mengambil senjatanya yang entah disembunyikan di mana dan berlarian secepat kilat menyongsong kedatangan tentara Zionis, ” ujar dokter tersebut.

Hal ini membuat kaget Brigade Golani Israel dan mereka kemudian kabur secepatnya. Banyak anggota milisi Hizbullah mengeluh kecewa karena tidak jadi bertempur satu lawan satu melawan tentaranya Yahudi ini. Yang kemudian datang adalah heli-heli Apache Israel yang menyemburkan ribuan peluru dan rudal-rudalnya ke bawah.

“Kepada saya, orang-orang Hizbullah ini bercerita bahwa tentara elit Israel itu pengecut-pengecut. Tidak berani bertempur secara jantan, berhadapan muka, ” tambahnya.

“Saya juga menanyakan kepada orang-orang Hizbullah ini mengapa RPG mereka bisa menghancurkan tank-tank Merkava Israel yang diklaim sebagai tank yang hebat. Orang-orang Hizbullah ini tertawa dan menyatakan bahwa yang mereka panggul bukan lagi RPG jenis konvensional, tapi sudah semacam misil panggul sejenis misil Milan yang memiliki daya rusak yang jauh lebih dahsyat, ” lanjut dokter tersebut.

Dokter ini juga memaparkan saat tentara elit Israel dari Brigade Golani ini dikepung gerilyawan Hizbullah di sebuah rumah sakit di Lebanon. “Saat itu malam hari dan gelap gulita. Diam-diam dari atas heli Apache yang mengaktifkan sistem senyap, sehingga sama sekali tidak mengeluarkan suara, puluhan personel tentara Israel turun lewat tali yang dijulurkan ke bawah. Mereka segera mendobrak rumah sakit untuk mencari orang-orang Hizbullah yang bersembunyi di lokasi ini. ”

Hanya saja, tentara Israel ini tidak tahu bahwa kontra-spionase yang dijalankan Hizbullah jauh lebih cerdik. Rencana pasukan elit ini sudah bocor sehingga rumah sakit tersebut telah dikosongkan. Bahkan di sekitar rumah sakit sejumlah gerilyawan Hizbullah telah mengepung lokasi tersebut dengan senjata siap ditembakkan.

“Jadilah malam itu bagaikan neraka bagi tentara elit Israel ini. Mereka menjadi sasaran empuk rentetan tembakan yang dilakukan gerilyawan Hizbullah dari segala penjuru. Banyak yang tewas bersimbah darah. Tiba-tiba Apache berdatangan dan melakukan manuver bantuan kepada tentara Israel yang terjebak. Sejak kejadian di rumah sakit itu, tidak pernah lagi Brigade Golani melakukan serbuan besar-besaran dan sendirian, ” lanjutnya.

Menurut sang dokter, umat Islam seharusnya jangan pernah termakan klaim-klaim palsu yang segaja disebarluaskan media-media Zionis. “Mereka bukan kaum yang hebat. Mereka itu pengecut, jadi kita jangan sampai menderita rendah diri di hadapan mereka. Kita harus yakin bahwa umat Islam adalah umat terbaik di muka bumi. Kita harus bekerja keras untuk mewujudkan hal itu. ”

Mereka tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok...(QS. Al-Hasyr: 14)

(Rz)

www.eramuslim.com

Baca Selengkapnya ......

Friday, March 23, 2007

Mimpi Kolektif

Oleh Patuh Ikranegara, S Ked

Al-Bara bin Azib meriwayatkan, “Menjelang perang Khandaq, kami menggali parit dan menemukan beberapa batu besar yang tak dapat kami pecahkan dengan kampak. Lalu kami melaporkan itu kepada Rasulullah saw. Beliau lantas mengambil kampak dan mendekati batu besar itu, kemudian menyebut nama Allah lalu memukul dan memecahkannya.


Oleh Patuh Ikranegara, S Ked

Al-Bara bin Azib meriwayatkan, “Menjelang perang Khandaq, kami menggali parit dan menemukan beberapa batu besar yang tak dapat kami pecahkan dengan kampak. Lalu kami melaporkan itu kepada Rasulullah saw. Beliau lantas mengambil kampak dan mendekati batu besar itu, kemudian menyebut nama Allah lalu memukul dan memecahkannya.

Setelah itu beliau mengatakan, ’Allah Mahabesar, sungguh aku telah diberikan kunci-kunci gerbang negeri Syam. Demi Allah, aku melihat istana merahnya sekarang. ’kemudian beliau memukul dan memecahkan batu besar lagi untuk kedua kalinya, dan berkata ‘Allah Mahabesar, sungguh aku telah diberikan Parsi. Demi Allah, sungguh aku melihat istana putih Al-Madain sekarang. ’ Kemudian beliau menyebut nama Allah lalu memecahkan batu besar lainnya, dan berkata, Allah Mahabesar, sungguh aku telah diberikan kunci-kunci Yaman. Demi Allah, sungguh aku melihat gerbang Shan’a dari tempatku ini.

Sebuah kisah yang begitu fenomenal, dikala genderang perang terhebat umat muslim madinah saat itu akan bertabuh, dikala umat muslim hanya berkekuatan 3000 orang dan kaum musyrikin berkekuatan 10, 000 orang ternyata Rasulullah secara mengejutkan memberikan sebuah motivasi dan membagikan mimpi (visi) nya kepada kaum Muslimin saat itu. Hasilnya? Tidak perlu diragukan lagi, umat muslim tampil bak singa kelaparan dan keluar sebagai pemenang perang khandaq.

Subhanallah, Rasulullah memang manusia yang sangat cerdas, dikala kaum muslimin sedang dalam keadaan panik disaat paling menentukan dari perjuangan menegakkan Islam saat itu, Rasulullah membagikan mimpinya kepada setiap muslim saat itu. Dan yang luar biasa, ternyata mimpi itu tidak hanya menjadi milik pribadi Rasul, tetapi mimpi itu menjadi sebuah mimpi kolektif, di mana setiap diri muslim saat itu begitu memaknai mimpi tersebut dan yang luar biasa lagi, mereka tidak hanya sekedar memaknai, lebih jauh lagi mereka mencoba merealisasikan mimpi tersebut.

Mimpi, sebuah kata yang benar-benar sederhana, tapi dalam penjabarannya mimpi itu dapat menjadi sebuah motor penggerak yang sangat luar biasa. Mengapa? Karena dalam pergerakannya manusia membutuhkan motivasi. Manusia yang bergerak tanpa motivasi layaknya seperti robot yang melaksanakan sesuatu tanpa nilai. Dan motivasi sangat mungkin datang dari sebuah mimpi.

Masalahnya adalah apakah mimpi itu cukup apabila hanya dimiliki oleh seorang pemimpin? Tidak, mimpi itu ternyata harus berhasil diterjemahkan menjadi sebuah mimpi yang kolektif. Karena ternyata apabila kita menilik kembali pada konsep kepemimpinan visioner, keberhasilan ternyata bukan terletak pada kepemimpinan seseorang, melainkan pada kolektivitas mimpi kelompok.

Dalam hal ini, maka sebuah konsep leadership dan followership yang baik dari sebuah tim akan diuji. Apakah seorang pemimpin mampu menerjemahkan mimpi menjadi sebuah mimpi yang kolektif, dan apakah setiap anggotanya berada pada sebuah frekuensi yang sama dengan pemimpin mereka untuk akhirnya dapat mencerna, memodulasi, dan mengimplementasikan mimpi tersebut sebagai sumber produktivitas. Sebuah tim akan benar-benar diuji di sini, dan “ruh” yang akan menyertai kinerja sebuah tim akan benar-benar ditentukan pada langkah ini.

Pertanyaannya adalah bagaimana dapat membangun mimpi kolektif ini. Membiasakan diri dalam berbagi adalah sebuah langkah yang dapat dicoba. Konsep berbagi, walaupun terkesan sederhana, ternyata memiliki kekuatan yang dahsyat untuk menciptakan hubungan interpersonal yang baik, dan melalui adanya hubungan interpersonal yang baik akan terbina sebuah ikatan batiniyah yang luar biasa.

Ketika setiap orang dalam sebuah tim sudah merasakan perasaan yang senasib sepenanggungan. Ketika satu sama lain merasa sedih ketika yang lain mendapatkan musibah dan merasa senang ketika yang lain mendapatkan kebahagiaan, membuat sebuah mimpi kolektif adalah merupakan sebuah hal yang tak sulit.

Ternyata memang, kinerja sebuah tim tidak ditentukan oleh keberhasilan seorang pemimpin dalam memanage, bukan juga ditentukan oleh kreativitas individu yang luar biasa. Tapi ditentukan oleh amal kolektif yang didasari oleh sebuah kolektivitas mimpi. Life is to dream and dream is to life.

www.eramuslim.com


Baca Selengkapnya ......

Thursday, March 22, 2007

Kado untuk Suamiku

Oleh Miftakhul Jannah

Hari ini adalah ultah ke-8 pernikahanku dengannya. Tak seperti ultah-ultah perkawinanku sebelumnya, di mana aku selalu menyempatkan untuk membungkus kado kejutan buatnya, buat kami; kali ini tidak.


Oleh Miftakhul Jannah

Hari ini adalah ultah ke-8 pernikahanku dengannya. Tak seperti ultah-ultah perkawinanku sebelumnya, di mana aku selalu menyempatkan untuk membungkus kado kejutan buatnya, buat kami; kali ini tidak.

Sebenarnya jauh di lubuk hati, ada terlintas juga siapa tahu kali ini Mas yang memberi kejutan untukku. Tetapi sampai malam ini ternyata tidak ada sesuatu istimewa yang Mas hadirkan. Dan aku tidak kecewa, karena aku sudah menyangka, tak akan ada apa-apa spesial yang menjadi kejutan bagi kami.

Sekarang aku sudah jauh memahami karakternya. Bukan orang yang romantis. Tak bisa mengungkapkan kata-kata manis secara langsung. Tak biasa memuji, tak biasa menggunakan kata-kata berbau basa-basi, semisal: tolong, maaf, … apalagi kata-kata: sayang… (tabu kali). Ya, begitulah suamiku.

Hal inilah yang dulu sering membuatku luka, karena belum mengertinya aku tentang dirinya. Seiring berjalannya waktu, aku mengerti, bahwa Mas bukan berarti tak sayang bila tak pernah menggunakan kata-kata yang biasa aku dengar dari kehidupanku sebelum dengannya.

Betapa sering dulu aku menangis di setiap malam; betapa selalu bantal basah oleh linangan air mata; saat merasa dicuekin. Terkadang hati ini kesal, bila Mas begitu mudah tertidur seusai kami melakukan sunnah….. Sepertinya aku ini hanya sebuah barang… Itu dulu.

Seorang pemuda yang sama sekali belum pernah aku lihat dan kenal sebelumnya. Dia adalah kakak dari teman kuliahku, seorang wanita sholihah, yang juga menjadi guru tahsin-ku. Setelah melalui malam-malam sujud istikhoroh, aku mantab menerimanya. Menikah tanpa pacaran. Prosesnya lumayan cepat: tukar biodata, bertukar fikiran & idealisme melalui surat, saling mengirim foto, bertemu satu kali langsung dikhitbah (dilamar); tiga bulan kemudian menikah.

Penyesuaianku dengannya memang sangat lama. Karena aku adalah tipe orang yang tak bisa terbuka. Sangat sensitif, mudah menangis, rapuh…. Sementara dia tipe orang yang sangat keras, disiplin dan tegar.

Bagaimanapun, ternyata Allah SWT Maha Penyayang kepada kami. Allah SWT menganugerahkan kesabaran kepadaku untuk memandang jernih masalah perbedaan karakter ini. Teringat sebuah pesan dalam sebuah buku yang pernah kubaca:

“Jika ada surga di dunia, surga itu adalah pernikahan yang bahagia. Namun jika ada neraka di dunia, itulah rumah tangga yang penuh pertengkaran dan kecurigaan-kecurigaan yang menakutkan antara suami dan isteri” (Muhammad Fauzil Adhim)

Dan aku ingin mendapatkan surga dunia itu…

Dari karakter Mas yang semula kufikir sangat bertolak belakang denganku, kutemukan kebaikan-kebaikan luar biasa yang begitu berarti dalam kehidupanku.

Dia sangat telaten mengajari kedua buah hati kami dalam banyak hal. Terutama dalam sholat, membaca Al-Qur’an, hafalan, juga pelajaran sekolah.

Suami juga selalu mengatakan “kamu pasti bisa, kalau berusaha!”, seperti saat ia mengoreksi hafalan surat-surat Al-Qur’an-ku, dan menyemangati ketika aku berkata tak sanggup menghafalnya; lalu ketika mengajariku mengemudikan kendaraan, semula aku ketakutan hingga akhirnya aku mampu melakukannya.

Ketika aku berhasil berkata “tidak” kepada seorang teman yang kusadari sering memanfaatkanku, aku meniru sikap tegas suamiku. Dan tiba-tiba kini aku merasa jauh lebih berani dibandingkan aku yang dulu.

Kalau toh tak ada kata-kata manis dari bibirnya, buktinya setiap aku sakit, tangan kokohnya dengan terampil memijat-mijat badanku hingga merasa nyaman.

Setiap aku menyadari ada suatu harapanku yang tak kuperoleh darinya, segera aku mencari kebaikan dirinya yang ternyata begitu banyak…
Keinginanku mendapatkan kata-kata manis berupa pujian dan rayuan, lambat laun sirna. Aku menerima dia apa adanya. Tentunya justru aneh, bila tiba-tiba gaya bicara dan kata-katanya berubah seperti harapanku yang dulu.

Ternyata benar jika pernikahan menjadikan kami saling melengkapi.
Hari demi hari, kerapuhanku mulai berkurang. Sebaliknya, sikap keras dan ketus suami juga sedikit demi sedikit berganti menjadi tegas namun lembut. Hal ini aku ketahui dari komentar saudara-saudara kami, ketika berkumpul dalam suasana Idul Fitri yang lalu. Saudara-saudaraku berkomentar tentang aku yang tak lagi cengeng; dan saudara-saudara suami berkomentar tentangnya, yang kini makin berwibawa. Alhamdulillah.

Mungkin tulisan ini kado terindah bagi ultah perkawinan kami.

Baca Selengkapnya ......

Wednesday, March 7, 2007

Tentara Israel Serbu Ramallah, Tangkap 18 Warga Palestina

Pasukan Israel menyerbu markas besar militer Palestina di Ramallah, Tepi Barat dan menangkap 18 orang dengan tuduhan terlibat dalam peristiwa penembakan terhadap warga Israel.


Pasukan Israel menyerbu markas besar militer Palestina di Ramallah, Tepi Barat dan menangkap 18 orang dengan tuduhan terlibat dalam peristiwa penembakan terhadap warga Israel.

Militer Israel mengatakan, penyerbuan itu dilakukan untuk mencari apa yang mereka sebut sebagai para militan. Sementara para pejabat Palestina menuding penyerbuan itu sebagai agresi Israel ke wilayah Palestina

Al-Jazeera melaporkan, sekitar 30 kendaraan militer Israel mengepung markas besar militer Palaestina, sebelum menangkap sejumlah orang dan menyita senjata-senjata mereka. Di antara warga Palestina yang ditangkap adalah Khalil Shilo, anggota Brigade Martir al-Aqsa, sayap militer Fatah. (ln/aljz)

Baca Selengkapnya ......

Terimakasih Ibu

Oleh Kinkin Mirajul Muttaqien

“Al-Jannatu tahta aqdamil ummahat - Surga itu di telapak kaki ibu”, awalnya tak pernah terbayang seperti apa dan kenapa surga mesti di telapak kaki ibu? Padahal ayah adalah pemegang tanggung jawab dalam keluarga. Saat kita mulai ingat akan segala sesuatu di dunia ini, mungkin tidak banyak mereka yang menyadari hadits pendek namun padat makna itu.

Bahkan sering kita mendengar begitu banyak anak yang tega berbuat aniaya terhadap ibunya. Sering kita mendengar dan menyaksikan berita yang dimuat baik itu di media cetak ataupun elektronik. Sehingga kadang ironis nya tidak sedikit pula anak yang tega menghabisi nyawa ibunya tanpa alasan yang jelas.

Oleh Kinkin Mirajul Muttaqien

“Al-Jannatu tahta aqdamil ummahat - Surga itu di telapak kaki ibu”, awalnya tak pernah terbayang seperti apa dan kenapa surga mesti di telapak kaki ibu? Padahal ayah adalah pemegang tanggung jawab dalam keluarga. Saat kita mulai ingat akan segala sesuatu di dunia ini, mungkin tidak banyak mereka yang menyadari hadits pendek namun padat makna itu.

Bahkan sering kita mendengar begitu banyak anak yang tega berbuat aniaya terhadap ibunya. Sering kita mendengar dan menyaksikan berita yang dimuat baik itu di media cetak ataupun elektronik. Sehingga kadang ironis nya tidak sedikit pula anak yang tega menghabisi nyawa ibunya tanpa alasan yang jelas.

Sungguh miris hati ini rasanya jika kita mendegar hal seperti itu. Di zaman yang semakin maju dengan dukungan teknologi canggih pun kita masih disuguhkan dengan berbagai isu dan berita seperti itu. Tak habis pikir kenapa mereka berbuat tega seperti itu.

Tapi kadang hati ini seperti tidak pernah tersentuh ketika mendengar kabar berita tersebut. Hati ini masih sering membuat ibu menangis, bahkan mungkin secara tidak sadar masih sering lupa akan apa yang pernah ibu berikan. Padahal hati ibu, kasih sayang nya tidak akan pernah luntur meski hujan badai menerjang. Tidak akan pernah sirna ditelan zaman.

Ibu masih terngiang suaramu meski saat ini jarak memisahkan aku dari mu. Sentuhan lembut jari mu di masa kanak-kanakku masih terasa menemani hari-hari ku. Bahkan semua itu menjadi inspirasi dan motifasi bagiku untuk menjalani hari-hari dalam hidupku yang penuh dengan liku-liku. Saat aku jauh, lidah mu tidak pernah kering dari doa untuk kebaikan anak mu. Semua kau lakukan tanpa menuntut pamrih dan balas jasa anak mu. Tapi apa, apa yang anak mu berikan kepada mu? Semua belum sepadan dengan apa yang telah kau berikan pada ku.

Setiap detik dan pergantian hari, kau asuh anak mu. Kau sapih dua tahun lamanya, tapi kau tidak pernah meminta imbalan dari anak mu. Bahkan sebaliknya terkadang anak mu tidak bisa membalas budi baik mu. Sebaliknya bayak sekali sikap ku melukai hatimu, tapi kau tetap memaafkan sikap anak mu.

Sungguh, aku bukan lah anak yang baik yang bisa memberikan balas budi untuk mu. Waktu yang mengantarkan ku pada kehidupan nyata telah banyak menorehkan prasasti tak terilai dari mu. Tapi aku sering lupa, lupa akan apa yang telah engkau berikan kepada ku. Maaf kan anak mu yang telah lalai terhadap semua jasamu.

Mungkin kelahiran anak pertama ku dua hari yang lalu telah memberikan gambaran betapa beratnya perjuangan mu untuk melahirkan ku. Karena aku menyaksikan sendiri bertapa beratnya isteriku melahirkan anak ku. Perjuangan antara hidup dan mati, saat detik-detik melahirkan telah menyadarkan ku betapa luasnya kasih sayang mu yang tidak akan pernah sanggup bagi ku untuk membalasnya.

Terimakasih ibu atas semua jasamu, aku berharap kehadiran cucu mu akan memberikan motifasi bagi ku untuk lebih meningkatkan rasa hormatku kepadamu. Dan aku berhaaarap kehadiran cucu mu bisa menjadi obat segala luka yang pernah tergores akibat sikap ku. Mungkin aku baru sadar bahwa memang surga itu ditelapak kaki ibu.

Terimakasih ibu...

rah_miraj@yahoo. Com


Baca Selengkapnya ......

Kejujuran Tukang Cukur

Oleh A. Muttaqin

Ahad 5 Maret 2007, direncanakan aku memimpin shalat sunnah dan khatib Gerhana bulan total. Perlu ke tukang cukur, sekedar merapihkan rambut dan menjaga penampilan.

Setengah jam duduk di bangku kayu terasa begitu cepat. Selama itu pula aku mendengarkan cerita Mang Udin sambil ia memangkas rambutku. Tutur katanya halus, lugas, kadang-kadang kedengaran lucu. Mungkin karena aksen Sundanya yang masih kental. Asyik menikmati obrolannya yang polos dan lugu. Padahal seingatku, ini baru kali kedua aku mampir ke kedai cukur miliknya.

Oleh A. Muttaqin

Ahad 5 Maret 2007, direncanakan aku memimpin shalat sunnah dan khatib Gerhana bulan total. Perlu ke tukang cukur, sekedar merapihkan rambut dan menjaga penampilan.

Setengah jam duduk di bangku kayu terasa begitu cepat. Selama itu pula aku mendengarkan cerita Mang Udin sambil ia memangkas rambutku. Tutur katanya halus, lugas, kadang-kadang kedengaran lucu. Mungkin karena aksen Sundanya yang masih kental. Asyik menikmati obrolannya yang polos dan lugu. Padahal seingatku, ini baru kali kedua aku mampir ke kedai cukur miliknya.

Tapi, ia mampu membangun suasana menjadi lebih akrab, seolah kami berdua telah lama kenal. Aku tak mengira, dari cerita perjalanan karirnya sebagai tukang cukur, ternyata, Bayu Sutiono pembaca liputan 6 SCTV yang terkenal itu, adalah orang yang sejak kecil ia kenal, sering dititipikan ibunya di kedai saat ibunya belanja ke pasar.

Tentu, sering ia cukur, sampai pada kisah ia menemukan dompet yang berisi sejumlah uang, ATM, STNK BMW dan SIM yang ia rahasiakan temuannya itu pada rekan kerjanya juga pada isterinya sekalipun. Awalnya aku ragu, karena lelaki ini tinggi besar dan berkumis tebal. Kesanku satu; galak. Bayanganku ternyata meleset setelah mencermati obrolannya yang mengalir wajar.

“Mang, uang satu juta setengah itu, kan lumayan. Kira-kira dapet TV 21 inci loh. Kenapa dikembalikan?”. Aku mencoba merespon ceritanya yang ini. Aku merasa ceritanya memiliki kesamaan pesan dengan pengalamanku beberapa waktu lalu.

Aku mencoba menggalinya lebih jauh. Kuraba hatinya. Kudengar suara nuraninya. Apakah seorang tukang cukur seperti dirinya memiliki daya tahan yang tangguh dalam pergulatan hidup tentang benar-salah. Halal-haram atau entahlah namanya. Tujuanku satu, ingin membuktikan, bahwa kejujuran itu bisa menjadi milik siapa saja dan dapat dicampakkan oleh siapa saja. Kejujuran bukan dominasi pura ustadz, kyai, pendeta, pastor, bhiksu atau sederatan “gelar suci”keagamaan lainnya. Atau justru aku menemukan nilai-nilai sakral itu pada diri Mang Udin, tokohku kali ini.

“Untuk apa den. Enaknya sebentar, sengsaranya seumur-umur”.

“Maksud mamang?“. Aku mulai penasaran dan tertarik. Bukan lagi karena aksen Sundanya itu, tetapi ceritanya mulai menerabas ruang gelap yang dalam. Sisi paling jernih dari perangkat hidup kita. Nurani. Inilah yang aku cari.

“ Kalau saja waktu itu mamang nurutin keinginan, pasti mamang ambil. Tinggal kuras isinya. Lempar dompetnya ke kali, selasai urusan. Tapi kan, kita tahu, dosa dan kesalahan yang ada kaitannya dengan hak orang lain, tidak selesai urusannya hanya pada Gusti Allah. Mamang mah engga sanggup kalau nanti harus berurusan dengan yang punya dompet di akherat nanti”.

Aku tertegun dalam, dalaam sekali. Berhusnuzzhan pada Allah, semoga ini adalah kejernihan dan kejujuran yang bukan basa-basi. Aku mulai mengikat satu persatu pembuktianku atas pesan yang sedang dibangun Mang Udin. Mungkinkah, Mang Udin bukan tukang cukur biasa? Sedikit, perlahan dan hati-hati aku memetik buah hikmah dari setiap tuturnya. Aku melihat kilauan mutiara yang keluar dari orang yang sementara anggapanku sebagai “orang biasa” seperti kebanyakan yang lain.

Dia yang setiap hari hanya bergelut dengan mekanisme kerja gunting, pisau dan sisir itu, apakah memiliki kepekaan dan kecerdasan religi yang setara dengan para filosof dan para cendikia. Bahkan mungkin akan lebih tinggi nilainya jika hanya diukur semata-mata dari jasad fisik Mang Udin. Jika terbukti, menurut logika guru sepertiku, Mang Udin telah berhasil mengartikulasikan nilai-nilai kejujuran dengan sangat jernih dari pengalaman hidupnya tanpa retorika akademis filosofis. Sederhana, jelas, lugas dan tanpa basa-basi yang kaku dan memenjarakan akal.

Padahal di dunia kehidupan yang semakin renta ini, nilai-nilai kejujuran, kejernihan hati, kepekaan sosial sudah semakin jauh ketinggalan dengan semangat hidup individualis yang melesat cepat dengan tolok ukurnya adalah materi. Setiap tindakan selalu ditakar dengan logika dagang; untung rugi. Menolong orang selalu dilihat dengan kaca mata barter. Aku berkesimpulan, sekali lagi jika terbukti, ... Mang Udin telah menjadi makhluk langka.

Aku tidak sabar memuntahkan semua keingintahuanku lebih banyak. Menurutku, Mang Udin harus “kupaksa” ngomong lagi. Baru kali ini seemur hidupku, kuliah akhlak dengan tukang cukur, makanya jangan sia-siakan dia.

“ Cambang cukur tidak?”, aku agak kaget, ah tapi bukan ini omongan yang kumaksud. Dalam benak, ternyata aku begitu hanyut sampai jauh, aku malah bergelut sendiri dengan wacana yang dinarasikan Mang Udin.

”Cukur aja deh “. Jawabku sekenanya.

“Mang, mamang kan hanya nemu di jalan. Mamang bukan mencuri atau sengaja mengambil dari kantong orang itu seperti para copet mencari nafkah “. Aku buru-buru menggiring sisa obrolannya kepada topik yang belum tuntas dikupasnya. Mudah-mudahan masih ada yang dapat kucerna dan membuat hatiku kenyang.

“Apa bedanya?”. Mang Udin balik bertanya, seolah dia telah memegang dan menebak alur fikiranku ke mana akan kuarahkan. Aku berfikir lagi, cerdas juga orang ini.

“Baik mencurinya maupun menemukannya di jalan dompet itu, toh bagi pemiliknya sama-sama kehilangan. Sama-sama dirasakan susahnya. Mengambilnya dengan sengaja, atau tidak mengembalikan kepadanya sebab menemukannya, sama-sama bikin susah orang. Tentu, kita juga akan merasakan kesusuhan jika kebetulan pemilik dompet tersebut adalah diri kita sendiri“. Waw!, semakin kukuh dugaanku, Mang Udin tidak sekedar tukang cukur.

“Lalu kenapa mamang rahasiakan, sampai-sampai isteri mamang ga pernah tahu kalau mamang pernah nemu dompet dengan isinya satu setengah juta beserta embel-embelnya?”. Mudah-mudahan aku puas mendengar jawaban terakhir dari pertanyaanku ini.

Kulihat dari cermin di depanku, Mang Udin tersenyum kecil. Wajahnya masih seperti awal dia cerita, santai.

“Den, mamang sendirian yang tahu saja, udah berat rasanya. Perang batin, antara harus mengembalikan atau diambil saja, kejujuran mamang hampir-hampir kalah. Apalagi kalo mamang cerita sama temen atau melibatkan isteri misalnya, pasti mereka akan ngasih saran yang yang macem-macam. Tambah bingung, yang ini begini, yang lain begitu. Jangan-jangan akhirnya malah nurutin keinginan mereka. Iya kalo sarannya baik, kalo malah nuntut mamang tidak jujur. Ah, ga tahu lah. Yang penting mah, mamang sudah ngembalikan. Rezeki ga ke mana”.

Aku tidak lagi terlalu tertarik bercermin untuk memperhatikan lahiriah setelah dipangkas setelah jawaban terakhir ini. Aku lebih merasa, bahwa merapihkan penampilan batin jauh lebih menentramkan hati dan membawa keberkahan hidup. Kurogoh kantung, kulunasi ongkos pangkas, dan pamit. Aku tahu, di sebelahku, sudah ada pelanggan yang juga ingin dicukur.

Aneh, aku merasa puas atas semua yang dialami Mang Udin melalui ceritanya. Aku seperti berjalan tegak menatap ke depan sambil membawa kemenangan. Lagi-lagi aku menenemukan kejujuran dari tempat yang tidak pernah kuduga. Dan lagi-lagi, kejujuran bisa menjadi milik siapa saja, kapan saja dan di mana saja.

Pengalaman hidup memang bagai madrasah besar yang mengajarkan banyak hal. Tentang hitam-putih, susah-senang, baik-buruk, pasang-surut dan sederet guratan taqdir yang harus kita jalani. Kurikulumya adalah rumah tangga, masyarakat dan alam sekitar. Pelakunya adalah manusia dengan berbagai profesi, karakter dan falsafah hidupnya. Tukang cukur hanyalah sebutan, guru hanyalah sebutan, jendral hanyalah sebutan. Mang Udin memang tukang cukur, tapi menurutku, ia adalah alumni madrasah besar itu yang telah berhasil menerapakan studinya tentang akhlak dan kejujuran. Yang jelas, jiwa dari kurikulum itu hanya satu, Iman.

Haturnuhun Mang Udin.

abdul_mutaqin@yahoo. Com, Ciputat, 06 Maret 2007.


Baca Selengkapnya ......

Tuesday, March 6, 2007

Batu-Batupun Menangis

Oleh Nahwan Nur

Membaca berita demi berita perjuangan rakyat Palestina membuat saya menangis haru. Inilah perjuangan yang tak kenal henti. Mereka telah mempersembahkan darah dan airmata setiap hari. Mereka tetap tegar di tengah himpitan ujian dan cobaan. Inilah perjuangan terbaik yang pernah dipersembahkan Islam kepada dunia. Di baliknya ada pelajaran kesetiaan, keberanian, kepatuhan, dan konsistensi diri.

Membaca berita demi berita perjuangan rakyat Palestina membuat saya menangis haru. Inilah perjuangan yang tak kenal henti. Mereka telah mempersembahkan darah dan airmata setiap hari. Mereka tetap tegar di tengah himpitan ujian dan cobaan. Inilah perjuangan terbaik yang pernah dipersembahkan Islam kepada dunia. Di baliknya ada pelajaran kesetiaan, keberanian, kepatuhan, dan konsistensi diri.

Jika peristiwa Holocoust benar-benar terjadi, orang-orang Yahudi hanya merasakan penderitaan sekali pukul saja. Tapi bangsa Palestina menderita pukulan berkali-kali, bertubi-tubi. Bangsa Palestina tengah menghadapi pembantaian yang belum pernah terjadi pada umat-umat sebelumnya. Perdamaian demi perdamaian hanya omong kosong dan tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi bangsa Palestina. Bahkan sedikit demi sedikit wilayah Palestina dan negara-negara tetangganya (Mesir, Syiria, Yordania, dan Libanon) mereka caplok. Perlu kita ingat bahwa negara Israel Raya tidak hanya berdiri di atas bangsa Palestina, tetapi sampai menembus Turki dan Irak!

Tidak aneh kemudian negeri-negeri Islam dibuat berantakan, karena mereka telah mengadakan makar yang keji. Tak bisakah anak-anak kecil itu menikmati masa bermain? Tidak bisakah para remajanya berkonsentrasi belajar? Tidak bisakah orang-orang tua sibuk membangun negeri sejahtera? Tidak bisakah orang-orang biadab itu menyisakan kebahagiaan walau sedikit saja? Begitu keraskah hati mereka sehingga dengan kejinya mereka membantai satu demi satu, setiap hari, rakyat Palestina? Meruntuhkan rumah yang sebelumnya dibangun dengan susah payah?! Oh, di mana tempat berlindung yang aman?

Seandainya pemimpin-pemimpin negara Islam bukan pecundang. Seandainya tampil Shalahuddin baru membebaskan negeri itu. Seandainya.seandainya.. apakah hanya itu yang bisa kita katakan? Kesadaran mana lagi yang dapat mengetuk hati mereka? Di mana lagi bentuk kepedulian kita? Doa kah? Ah, malas sekali kita ucapkan. Bagaimana pertolongan Allah akan turun?

"Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan" (QS Albaqarah: 74).

Jika batu-batu dapat menangis, mengapa kita tidak menangis? Menangisi ketidakberdayaan kita di hadapan musuh Allah! Menangisi jiwa-jiwa kerdil yang penuh dosa. Menangisi tangisan seorang ibu yang suami dan anaknya tewas diterjang peluru bangsa biadab

Baca Selengkapnya ......

Filosofi Menanam

Oleh Sus Woyo

Untuk apa kamu setiap hari mengajari baca tulis Al-Qur’an kepada anak-anak orang lain, dengan timbal balik yang tidak seimbang? Lagipula apa sih penghargaan orang tua mereka kepada kamu?

Untuk apa kamu setiap hari mengajari baca tulis Al-Qur’an kepada anak-anak orang lain, dengan timbal balik yang tidak seimbang? Lagipula apa sih penghargaan orang tua mereka kepada kamu?

Untuk apa kamu mengkoordinir orang-orang dan menjembatani para pemuda untuk belajar agama, sementara tangapan dan antusiasme mereka biasa-biasa saja dan seolah tak ada gairah untuk mengikutinya?

Untuk apa kamu menulis setiap hari, sementara perbandingannya dengan apa yang kamu korbankan tidak seberapa? Sudah tahu tidak mendapat honor kenapa redaksi surat kabar itu masih juga kau kirimi tulisan? Berapa waktu dan pikiran yang kau buang?

Untuk apa kamu urusi anak orang, sementara kamu sendiri, secara ekonomi bukanlah orang kaya. Untuk apa kau belikan ia susu, kau asuh seperti anakmu sendiri, padahal bapak ibu anak tersebut makan enak dan tidur juga enak di Jakarta?

Kenapa tanah orang tuamu di pinggir hutan itu kau tanami pisang juga, padahal setiap berbuah, dan saat buahnya mulai tua pasti dicuri orang? Tidak tahukah kamu tentang untung dan rugi?

Apa hasilnya kamu bikin taman baca untuk umum, sementara kamu tak pernah sedikitpun memungut bayaran dari para pembaca? Sedangkan jika kamu mau, mereka dengan lapang dada mau menyewa buku-buku itu?

Sering sekali saya mendapat teguran, baik dari teman, tetangga, atau bahkan keluarga saya sendiri. Mereka sering sekali mengkritisi apa yang saya perbuat selama ini. Tentu menurut pandangan mereka. Dan biasanya saya hanya diam jika mereka mengkritik saya. Jawaban panjang lebar seperti apapun, biasanya tidak memuaskan bagi mereka.

Wajar sekali mereka bertanya seperti itu. Memang yang namanya hidup sudah pasti membutuhkan “sesuatu” untuk melangsungkan kehidupan itu sendiri. Dan sesuatu itu adalah imbalan atas apa-apa yang kita perbuat. Pendek kata, setiap tetes keringat yang kami keluarkan, secara akal sehat sudah pasti harus dihargai sesuai dengan apa yang kita perbuat itu.

Untuk menghibur diri, saya sering mengingat seorang laki-laki 80-an tetangga saya, yang tak pernah bosan untuk pergi ke kebunnya setiap hari. Ia selalu menanam apa saja. Kata-katanya yang selalu terngingang di telinga saya adalah, “Saya setiap hari harus menanam. Dan yang saya tanam adalah kebaikan. Orang menanam itu akan panen, berapapun hasil panennya. Dan jika saya tidak sempat memanennya, insya Allah anak cucu saya, atau keturunan saya kelak yang akan menikmati hasil tanaman saya. ”

Kalimat dari seorang kakek itu, sedikit memberi semangat tentang apa yang sedang saya perbuat. Saya memaknai kata “menanam” dengan makna yang maha luas. Tak hanya berkutat sebatas kepada tumbuh-tumbuhan, tapi di segala sektor kehidupan.

Menolong kucing yang masuk got, meminjami payung kepada orang yang sedang kehujanan, menyingkirkan duri yang berserakan di jalan, mengihlaskan hutang kepada para peminjam yang tidak mampu mengembalikan, menjadi donatur tetap kepada TPA/TPQ kampung yang fasilitasnya serba minim, dan segala apa yang saya tuturkan di atas, adalah tak lepas dari filosofi “menanam”.

Logikanya, siapa menabur akan menuai, orang yang menanam, pasti akan memanen. Entah berapa yang akan dipanennya. Dan jika kelak yang menanam saat ini belum bisa memanennya, itu juga bukanlah kesia-siaan. Anak cucu kita bisa menikmati hasil tanaman baik kita. Tak percaya? Tanyakanlah kepada kakek-kakek kita yang menanam pohon kelapa limapuluh tahun yang lalu. Siapa yang menikmati hari ini?

Kalau mengingat perbuatan sang kakek tua itu, saya makin menikmati apa yang saya perbuat selama ini. Walaupun secara finansial saya belum mendapat apa-apa. Toh, ternyata Allah SWT maha segalanya. Dia tidak akan membiarkan hambaNya yang sedang kesulitan dalam hidup, dibiarkan begitu saja tanpa ditolongNya.

***

Forum Lingkar Pena Purwokerto

Baca Selengkapnya ......

Friday, March 2, 2007

Ayah, Itu Ada Dompet!

Oleh A. Muttaqin

HP miliknya ngadat. Komunikasi jadi tidak lancar. Apalagi, wali murid tempat ia mengajar setiap saat dapat saja menghubunginya. Untuk service, kantungnya sudah sangat tipis. Apalagi ganti HP baru, sangat tidak mungkin.

Oleh A. Muttaqin

HP miliknya ngadat. Komunikasi jadi tidak lancar. Apalagi, wali murid tempat ia mengajar setiap saat dapat saja menghubunginya. Untuk service, kantungnya sudah sangat tipis. Apalagi ganti HP baru, sangat tidak mungkin.

Wajahnya berbinar melihat putri kecil dan anak lelakinya riang menyambutnya pulang. Hatinya terhibur. Hilang seketika setumpuk beban urusan yang tengah dirasakannya akhir-akhir ini. Mikal, putri sulung empat tahunnya, selalu berceloteh saat menyambutnya pulang. Rayyan, adiknya, baru tiga tahun, seakan bayangan utuh dirinya. Sangat mirip. Anak itu, pandai mengambil hati ayah bundanya.

Malam setelah Isya ditunaikan, ia mengambil tempat di antara kedua buah hati dan isterinya yang tengah menuntun putrinya belajar melafalkan "Iqra." Lucu. Belajar Iqra sambil nonton televisi.

"Yah, maaf ya, tadi ada yang datang. Katanya masih saudara Ayah." Isterinya kembali membuka obrolan ringan seperti malam-malam berlalu.

"Siapa?"

Penjelasan isterinya mengalir datar. Aduh, ternyata urusan uang. Uang lagi.

" Bunda, itu kan uang terakhir kita. Ongkos untuk jenguk Umi dan Mbahnya Rayyan. Ayah ga ada lagi lo!."

Meski ditekan perasaannya, keluar juga isi hatinya. Padahal ia tidak pernah ingin melibatkan emosi isterinya dalam urusan finansial.
"Habis bagaimana Yah, Bunda kasihan. Ga tega. Melas-melasin minjemnya." Isterinya seolah ingin membela tindakannya.

Sebenarnya, ia faham betul watak isteri yang telah menemaninya hampir enam tahun itu. Murah belas-kasih. Ga tegaan.

Hari-harinya memasuki spektrum bayang-bayang keterbatasan dan kegelisahan. Keuangannya tersudut di ruang hampa tanpa angka-angka dan nilai harga. Tapi, sujud dan rukunya, selalu memompa semangatnya.

Hari Sabtu. Longgar.

"Gimana Yah, tetap jadi berangkat ke Jakarta? Anak-anak sejak semalam ribut terus."

Hatinya semakin tercekat. Apalagi janji si penghutang untuk mengembalikan dalam satu hari janjinya, nihil.

Subhanallah. Hatinya lirih.

"Bismillah, Bunda, yuk siap-siap." Katanya seketika. Meskipun di dompetnya hanya ada selembar 50 ribuan.

Awal Ramadhan 1427 H, dan setiap kali awal Ramadhan, seperti biasa, keluarga kecilnya mengunjungi kedua kakek-nenek anak-anaknya. Mereka biasa memanggilnya Ummi dan Mbah. Lucu, ga kompak, istilah Arab dikawinkan dengan istilah Jawa. Tapi suasana kedekatan dan kecintaan kedua orang sepuh itu pada cucu-cucunya, tak terlukiskan.

Hatinya gelisah di sela kesabarannya. Berhimpitan. Biasanya ia selalu membawa sesuatu sekedar buah tangan menyambut Ramadhan. Tapi kali ini terlewatkan.

Pulang.

* * *

"Ayah, itu ada dompet. Ambil Yah, selamatkan. Kasihan kan yang punya!." Tiba-tiba putri kecilnya berteriak sambil menunjuk sebuah dompet hitam yang tergeletak di atas aspal samping stasiun Beos.
Hatinya ragu. Tapi kata-kata putrinya "selamatkan", ada benarnya.
Suasana batinnya bermain, nakal dan liar. Hati kecilnya berujar jujur, kembalikan.

48 jam setelah disurati, si pemilik dompet datang ke kantor tempatnya mengajar. Sang pemilik dompet tidak mengira bahwa isi dompetnya masih utuh. SIM, STNK, KTP dan lembaran-lembaran 50 ribuan dan beberapa 20 ribuan, masih utuh.

"Bunda, dompet beserta isinya telah diambil pemiliknya ke kantor Ayah tadi siang." Baru kali ini, ia yang memulai obrolan ringan keluarga. Hangat dan bersahaja.

"Al-hamdulillah. Ternyata, Mikal sangat terpengaruh Yah, dengan buku cerita yang beberapa waktu lalu kita beli dan Bunda bacakan." Isterinya menyodorkan buku cerita anak-anak berjudul " Ini Dompet Siapa?"

Dibolak-balik buku cerita itu. Ya Allah, pesan cerita itu telah dibunyikan oleh putrinya beberapa waktu lalu. Pantas, ia begitu nyaring memintanya mengambil dompet itu.

Hatinya lega. Perangnya telah usai. Dompet telah kembali pada pemiliknya. Allah telah menyelamatkan niatnya melalui polah putrinya yang belum lagi dewasa.

* * *

HPnya masih beberapa waktu lalu, rusak. Komunikasi elektroniknya terputus. Biasanya, menjelang Idul Fitri, hampir tiada jeda, telponnya itu menjerit mengingatkan pesan masuk atau panggilan yang isinya sekedar ucapan selamat. Biasanyapun, undangan ceramah

Dikonfirmasi lewat benda segi empatnya itu.

Ia mencoba lapang. Biarlah.

Malam menjelang tidur, pintu rumah kontrakkan yang dihuninya diketuk. Salam dijawab. Tanpa basa-basi, disuruhnya masuk si tukang ketuk. Seorang dari keponakannya datang menyampaikan sesuatu.

"Bang, ada titipan dari pak Jabal."

Ingatannya mengembara. Pak Jabal Thariq, sahabat, mantan atasannya dulu sewaktu masih mengajar di SMK yang dipimpinnya satu setengah tahun yang lalu.

Hatinya bertanya, apakah gerangan. Sang keponakan pamit. Dibukanya bingkisan itu perlahan.

Subhanallah!, HP Nokia 6020. Baru.

Ia berujar, Iman memang lebih berharga dari segalanya. Kejujuran dan kesabaran memang lebih mahal dari dari semuanya. Thank's pak Jabal. Jazakallah.

Baca Selengkapnya ......