Oleh A. Muttaqin
HP miliknya ngadat. Komunikasi jadi tidak lancar. Apalagi, wali murid tempat ia mengajar setiap saat dapat saja menghubunginya. Untuk service, kantungnya sudah sangat tipis. Apalagi ganti HP baru, sangat tidak mungkin.
Oleh A. Muttaqin
HP miliknya ngadat. Komunikasi jadi tidak lancar. Apalagi, wali murid tempat ia mengajar setiap saat dapat saja menghubunginya. Untuk service, kantungnya sudah sangat tipis. Apalagi ganti HP baru, sangat tidak mungkin.
Wajahnya berbinar melihat putri kecil dan anak lelakinya riang menyambutnya pulang. Hatinya terhibur. Hilang seketika setumpuk beban urusan yang tengah dirasakannya akhir-akhir ini. Mikal, putri sulung empat tahunnya, selalu berceloteh saat menyambutnya pulang. Rayyan, adiknya, baru tiga tahun, seakan bayangan utuh dirinya. Sangat mirip. Anak itu, pandai mengambil hati ayah bundanya.
Malam setelah Isya ditunaikan, ia mengambil tempat di antara kedua buah hati dan isterinya yang tengah menuntun putrinya belajar melafalkan "Iqra." Lucu. Belajar Iqra sambil nonton televisi.
"Yah, maaf ya, tadi ada yang datang. Katanya masih saudara Ayah." Isterinya kembali membuka obrolan ringan seperti malam-malam berlalu.
"Siapa?"
Penjelasan isterinya mengalir datar. Aduh, ternyata urusan uang. Uang lagi.
" Bunda, itu kan uang terakhir kita. Ongkos untuk jenguk Umi dan Mbahnya Rayyan. Ayah ga ada lagi lo!."
Meski ditekan perasaannya, keluar juga isi hatinya. Padahal ia tidak pernah ingin melibatkan emosi isterinya dalam urusan finansial.
"Habis bagaimana Yah, Bunda kasihan. Ga tega. Melas-melasin minjemnya." Isterinya seolah ingin membela tindakannya.
Sebenarnya, ia faham betul watak isteri yang telah menemaninya hampir enam tahun itu. Murah belas-kasih. Ga tegaan.
Hari-harinya memasuki spektrum bayang-bayang keterbatasan dan kegelisahan. Keuangannya tersudut di ruang hampa tanpa angka-angka dan nilai harga. Tapi, sujud dan rukunya, selalu memompa semangatnya.
Hari Sabtu. Longgar.
"Gimana Yah, tetap jadi berangkat ke Jakarta? Anak-anak sejak semalam ribut terus."
Hatinya semakin tercekat. Apalagi janji si penghutang untuk mengembalikan dalam satu hari janjinya, nihil.
Subhanallah. Hatinya lirih.
"Bismillah, Bunda, yuk siap-siap." Katanya seketika. Meskipun di dompetnya hanya ada selembar 50 ribuan.
Awal Ramadhan 1427 H, dan setiap kali awal Ramadhan, seperti biasa, keluarga kecilnya mengunjungi kedua kakek-nenek anak-anaknya. Mereka biasa memanggilnya Ummi dan Mbah. Lucu, ga kompak, istilah Arab dikawinkan dengan istilah Jawa. Tapi suasana kedekatan dan kecintaan kedua orang sepuh itu pada cucu-cucunya, tak terlukiskan.
Hatinya gelisah di sela kesabarannya. Berhimpitan. Biasanya ia selalu membawa sesuatu sekedar buah tangan menyambut Ramadhan. Tapi kali ini terlewatkan.
Pulang.
* * *
"Ayah, itu ada dompet. Ambil Yah, selamatkan. Kasihan kan yang punya!." Tiba-tiba putri kecilnya berteriak sambil menunjuk sebuah dompet hitam yang tergeletak di atas aspal samping stasiun Beos.
Hatinya ragu. Tapi kata-kata putrinya "selamatkan", ada benarnya.
Suasana batinnya bermain, nakal dan liar. Hati kecilnya berujar jujur, kembalikan.
48 jam setelah disurati, si pemilik dompet datang ke kantor tempatnya mengajar. Sang pemilik dompet tidak mengira bahwa isi dompetnya masih utuh. SIM, STNK, KTP dan lembaran-lembaran 50 ribuan dan beberapa 20 ribuan, masih utuh.
"Bunda, dompet beserta isinya telah diambil pemiliknya ke kantor Ayah tadi siang." Baru kali ini, ia yang memulai obrolan ringan keluarga. Hangat dan bersahaja.
"Al-hamdulillah. Ternyata, Mikal sangat terpengaruh Yah, dengan buku cerita yang beberapa waktu lalu kita beli dan Bunda bacakan." Isterinya menyodorkan buku cerita anak-anak berjudul " Ini Dompet Siapa?"
Dibolak-balik buku cerita itu. Ya Allah, pesan cerita itu telah dibunyikan oleh putrinya beberapa waktu lalu. Pantas, ia begitu nyaring memintanya mengambil dompet itu.
Hatinya lega. Perangnya telah usai. Dompet telah kembali pada pemiliknya. Allah telah menyelamatkan niatnya melalui polah putrinya yang belum lagi dewasa.
* * *
HPnya masih beberapa waktu lalu, rusak. Komunikasi elektroniknya terputus. Biasanya, menjelang Idul Fitri, hampir tiada jeda, telponnya itu menjerit mengingatkan pesan masuk atau panggilan yang isinya sekedar ucapan selamat. Biasanyapun, undangan ceramah
Dikonfirmasi lewat benda segi empatnya itu.
Ia mencoba lapang. Biarlah.
Malam menjelang tidur, pintu rumah kontrakkan yang dihuninya diketuk. Salam dijawab. Tanpa basa-basi, disuruhnya masuk si tukang ketuk. Seorang dari keponakannya datang menyampaikan sesuatu.
"Bang, ada titipan dari pak Jabal."
Ingatannya mengembara. Pak Jabal Thariq, sahabat, mantan atasannya dulu sewaktu masih mengajar di SMK yang dipimpinnya satu setengah tahun yang lalu.
Hatinya bertanya, apakah gerangan. Sang keponakan pamit. Dibukanya bingkisan itu perlahan.
Subhanallah!, HP Nokia 6020. Baru.
Ia berujar, Iman memang lebih berharga dari segalanya. Kejujuran dan kesabaran memang lebih mahal dari dari semuanya. Thank's pak Jabal. Jazakallah.
Friday, March 2, 2007
Ayah, Itu Ada Dompet!
Posted by Ikhwan Supriyana at 9:34 AM
Labels: Renungan Iman
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
Assalamualaikum wr wb
Kesabaran adalah segalanya, dan yang perlu diingat adalah Rezeki tidak pernah bertukar tempat, alamatnya sudah ditentukan, hanya harus berusaha meraihnya dan berdoa semoga tetap menjadi orang yang berada di jalan yang benar..., amien < rizal>
http://www.infotaintment.blogspot.com
Post a Comment